Sebenarnya memang banyak rumor beredar soal Sabian, entah itu rumor buruk atau rumor sangat amat buruk. Cleo ingat, dia pernah mendengar bahwa Sabian salah satu pecandu yang sialnya tidak pernah tertangkap karena sesorang dibelakangnya. Entah berapa banyak rumor yang mengelilinginya, mungkin salah satunya yang paling terkenal adalah Sabian si psikopat.
Menurut beberapa orang yang masih membicarakannya, Sabian pernah terlihat sedang memukuli kakak kelasnya pada saat itu hanya karena alasan sepele. Tidak, ini benar-benar sepele. Ketika mendengar hal itu saja, Cleo tak bisa tidak mengerutkan alisnya heran.
Sabian meresa kesal melihat wajah kakak kelas itu.
Tidak terbayangkan, Cleo kira ada alasan besar dibalik kejadian itu. Dari sekian banyaknya kelakuan Sabian, entah mengapa pihak sekolah masih terus mempertahankan siswa buruk sepertinya. Apakah karena nama yang dia sandang?
Memang benar, dari nama belakangnya saja sudah terlihat jelas jarak yang terbentang. Bahkan bagi Cleo sendiri. Walau dia terlahir dari keluar luar biasa, Sabian juga tak kalah luar biasa malah pemuda itu menyandang nama yang berat, bisnis keluarganya sering kali menghalangi beberapa pebisnis lainnya.
Tidak mau ambil pusing, Cleo tak akan membuat masalah kepada Sabian atau siapapun itu. Memikirkan jangka panjangnya kelak, sangat tidak pantas untuk menghancurkan keluarganya hanya karena permasalah wanita. Dia mencintai Aluna tetapi tak sampai dia harus mengorbankan yang dia miliki saat ini. Cleo adalah pria yang seperti itu, wanita masih bisa dia cari, bukan hanya ada Aluna saja di muka bumi ini.
Dengan harta dan wajah yang Cleo miliki, perempuan manapun akan bertekuk lutut dihadapannya. Sekarang Cleo hanya ingin bermain. Bermain rumah-rumahan dengan Aluna. Ah, Adhisa...
Sebuah garis melengkung yang samar tampak dari wajah Cleo, walau hanya sekejab, Aluna yang berada tak jauh darinya sempat memperhatikan.
Berbalik, Cleo meninggalkan Aluna dan Killian, mengikuti jejak Ella dan Sabian; memilih untuk berkumpul bersama orang tuanya. Sedangkan Killian, dia tersadar ketika sudah tak melihat sosok kehadiran Ella dari kejauhan. Bergegas pergi juga, Killian berlari, tidak mau kehilangan jejak Ella.
"Sialan..." sebelum benar-benar melangkah pergi, Killian sempat mendengar umpatan kecil tersebut, dia berbalik sebentar; melihat Aluna yang mulai menggigit kuku jemarinya, dia tak sadar jika Killian masih berada disana. Kerutan samar tercipta, apa ini? Pikir Killian.
Nemesis
"Papaa, Anel mau naik kuda." Perkataan Ella seketika menghentikan percakapan para pria dewasa didepannya. Sabian melirik Ella kemudian terkekeh pelan.
Raven mengusak puncak kepala Ella, bibirnya menarik senyuman manis, "Bersama Sabian?" Anggukkan kecil Ella berikan sebagai jawaban singkat, Raven mengalihkan pupilnya menuju Sabian; yang masih terus menatap wajah Ella dengan seksama. Memperhatikan setiap garis-garis wajah gadis itu.
Berdecak pelan, Raven merasa sirine bahaya jika dimasa mendatang akan ada saatnya rubah mencuri putri cantiknya dari dekapannya kelak. "Jauh?" Tanya Raven singkat kepada Sabian.
Memutus perhatiannya pada Ella, pemuda tinggi itu menggeleng, "Hanya 10 menit dari sini."
"Bolehkan, paa?" Desak Ella. Tiba-tiba merasakan perasaan Raven akan menolak, Ella menarik salah satu tangan pria yang menjadi ayahnya itu, memasang wajah memelas, "Panah udah batal, masa gak boleh naik kuda juga?"
Bibirnya cemberut, "Anel janji gak bakal lama, bentar aja, papa..."
"Kalau udah lelah, nanti langsung berhenti. Iyakan kak Sabian?" Kini Ella beralih menatap Sabian, meminta bantuan. Melihat tingkah lucu Ella, Sabian tentu saja mengangguk, "Benar, hanya sebentar lalu kita akan makan lagi, mungkin?"
Perkataan Sabian langsung Ella angguki dengan cepat, "Papa bolehkan..." kini suaranya dia ubah menjadi lesu.
Ella tidak sadar bahwasanya dia tidak hanya berdiri dihadapan Raven dan Sabian saja, melainkan ada beberapa pria dewasa lainnya serta Adhisa juga yang memperhatikan dalam diam.
Menyerah, Raven akhirnya setuju, dia mengeluarkan dompet dari sakunya, memberikan salah satu kartu bewarna hitam kepada satu-satunya putri yang dia miliki.
Ella mengembangkan senyuman manis, mengibaskan telapak tangannya——memberi isyarat agar Raven menunduk, mensejajarkan tinggi mereka.
Pria itu menurut, menundukkan wajahnya lalu benda lembut dan hangat menyentuh pipinya, kecupan singkat dari sang anak seketika meluluhkan hati Raven. Pria yang selalu dikenal karena sikap dinginnya seketika berubah menjadi pria gila. Senyuman lebar yang tidak pernah dia tunjukkan didepan umum, sekarang terpatri dari wajahnya.
"Makasih papa, Anel sayang banget sama papa!!!" Seru Ella semangat. Mengalihkan tatapan pada Sabian, Ella tanpa sadar memasang wajah bahagianya, "Ayo kak!" Ajak Ella senang.
Sabian terpanah, dia mendongak sebentar lalu mengambil benda yang sedari tadi Ella pegang, perlakuannya itu membuat sang gadis tertegun sejenak namun dia menggeleng pelan lalu mengikuti langkah kaki Sabian. Intinya Ella senang.
Tetapi kesenangan Ella tampaknya terganggu sedikit sesaat setelah langkahnya dihadang oleh Killian. Pemuda yang selalu membuat Ella entah mengapa jadi ketakutan sendiri.
Tanpa kata, Sabian menarik pelan Ella agar berdiiri dibelakangnya, menutupi Killian. "Minggir." Satu kata keluar dari bibir Sabian, anehnya suara itu sangat berbeda dari yang biasa Ella dengar, terkesan dingin dan mengitimidasi.
Killian balik menatap Sabian, keduanya saling beradu tatap sejenak sampai panggilan mendesak dari ayah Killian terdengar. Memanggil nama Killian.
Nemesis
Hehehe....
Dikit2 dulu ya gais (beberapa minggu tiba2 aja lembur terus)
Ntar aku usahain jadi panjang kaya chapter sebelumnya, skrg msih nyicil2 sebelum tidur nulis (itupun kalau ada ide)
Emmm, sampai jumpa di minggu depan (semoga)🦧

KAMU SEDANG MEMBACA
Nemesis
Teen FictionJangan jadi dark readers, vote, komen, follow🙏 yang ga lakuin, semoga hidupmu suram __________________ Ranella Nemesis Kalingga, salah satu pemeran figuran kaya raya yang hanya lewat sekelebat dalam cerita novel online. Peran yang sama sekali tidak...