Silaturasa

490 67 10
                                    

"Ada apa, Bu?" tanya Mahalini ketika tiba di dapur.

Suasana rumah Nuca sedang ramai oleh banyak anggota keluarga. Malam itu menjadi malam yang spesial untuk mereka semua. Besok, salah satu anggota keluarga akan melangsungkan prosesi lamaran. Di luar rumah tepatnya di teras, beberapa tetangga dan kerabat keluarga sedang asyik karaokean.

Di dapur tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa wanita termasuk wanita bergamis hitam yang tidak lain ialah ibunya Nuca. Wanita itu menggunakan jilbab panjang yang juga berwarna hitam, sedang mengiris timun. Mahalini mendekati wanita itu.

"Kamu belum pulang? Ini sudah jam berapa, loh?" tanya ibunya Nuca.

"Belum juga jam sepuluh, Bu. Tanggung, masih ramai. Eh, kalau aku menginap di sini boleh nggak?" tanya Mahalini.

Ibunya Nuca menggelengkan kepala. Dia tidak setuju. Sedekat apapun hubungan Nuca dengan Mahalini, dia tetap tidak ingin menimbulkan fitnah di tengah masyarakat. Sekalipun para tetangga tahu dan memaklumi kondisi itu. Apalagi rumah itu sedang sibuk-sibuknya menyambut salah satu prosesi penting.

"Besok kan bisa balik lagi, Lin. Besok acaranya sore, selesai solat asar. Kamu masih punya waktu kalau datang siang. Nggak usah menginap, ya? Soalnya rumah lagi ramai sekali. Ibu nggak enak kamu nantinya nggak nyaman. Keganggu."

Mahalini menganggukan kepala. Sebenarnya dia hanya bergurau. Sebab dia tahu dia tetap tidak akan mendapatkan izin menginap sekalipun dia menggunakan nama Della sebagai alasan. Sementara itu Mahalini sendiri tidak merasa terganggu. Justru suasana ramai di rumah itu yang sangat dia senangi. Beda dengan rumahnya yang terlampau sepi hingga dia bosan di rumah terus-terusan.

"Ibu lagi bikin apa?"

"Timun buat kebutuhan besok. Oh iya, besok kamu nggak sibuk?"

"Enggak kok, Bu. Pokoknya mulai hari ini sampai besok, sampai acaranya Kak Awdella selesai, aku nggak sibuk. Ada apa?" Mahalini bertanya penuh antusias.

"Kalau kamu nggak sibuk, sih. Eh tapi nggak usah deh. Nggak jadi."

"Loh? Kok nggak jadi? Ih. Nggak usah bilang-bilang Nuca. Ibu takut ketahuan Nuca, kan?"

Wanita itu mengangguk. Nuca sering mewanti-wanti ibunya, sekalipun Nuca dan Mahalini sudah sedekat itu, Nuca tetap tidak mau kalau keluarganya sampai merepotkan Mahalini. Makanya kadang Mahalini sering diam-diam memberikan bantuan itupun sambil mendesak.

"Ibu? nggak usah bilang ke Nuca. Aku juga janji bakalan jaga rahasia. Ada apa? Ibu mau minta tolong apa? Aku bisa, kok. Tenang saja."

"Ini buat jaga-jaga saja kalau besok nggak ada yang bisa nganterin ibu."

"AKU BISA!" seru Mahalini penuh semangat.

"Besok pagi, sekitar jam sepuluh. Ibu mau ke toko kue langganan. Mau ambil kue buat acara besok. Ibu takut minta tolong ke yang lain, takutnya mereka nggak hati-hati. Makanya ibu ingin berangkat sendiri, tapi mau ajak kamu kalau kamu mau."

"Tentu saja mau, Bu. Ah, toko kue langganan?"

Wanita itu menganggukan kepalanya. Mahalini mengacungkan jempolnya.

"Ya sudah. Nanti besok tapi buat jaga-jaga saja. Kalau ada yang bisa anterin Ibu, kamu di rumah saja. Temenin Kak Della."

"Aman, Bu. Aku bisa, kok."

Mahalini meninggalkan wanita itu di dapur sementara dia bergabung dengan anggota keluarga lain di ruang tengah. Ruang tengah rumah Nuca sudah dibersihkan. Kursi yang biasanya dia pakai duduk menonton televisi di ruang tengah, beberapa rak, dan perabotan lain sudah dipindahkan. Ruang itu sekarang sudah di alas karpet. Beberapa anak kecil, sepertinya adik sepupu atau anak dari sepupu-sepupu Nuca, berlarian sambil tertawa. Mahalini tersenyum memandangi kejadian itu.

Dia melangkah hendak menuju kamar Della saat smartphonenya berdering. Buru-buru dia mengeluarkannya dari saku, berharap itu telepon dari Nuca. Namun betapa kecewanya dia waktu melihat layar smartphone tapi yang muncul di sana hanyalah nama Mirabeth.

"Beib?" sapa Mirabeth.

Mahalini bergumam pelan. Malas.

"Kenapa, lo? Kurang darah? Atau lagi datang bulan?"

"Ada apa?"

"Besok pagi gue tiba di Manado. Lo di mana? ketemuan, yuk. Nongkrong kita. Sudah lama kita nggak nongkrong berdua saja, kan?" cecar Mirabeth dari seberang sana.

"Waduh, sori. Gue nggak bisa. Gue lagi di Gorontalo. Ada urusan penting."

"Hmm. Penting? Jangan bilang lo lagi di rumah cowok itu lagi?"

Mahalini berdecak pelan. Dia melirik sekitar, berharap tidak ada yang mengamati perubahan raut wajahnya. Dia lantas berjalan menjauh padahal sudah tiba di depan pintu kamar Della. Dia berhenti di sudut ruang tamu yang juga sudah disulap persis ruang tengah tadi, tanpa perabotan.

"Gue lagi nggak di Manado. Atau Lo saja yang ke Gorontalo, bagaimana?"

"Lin? please, deh. Gue mau ngapain ke sana? Gue mau ngajak lo ketemu sekaligus buat bahas rencana bisnis kita. Lo nggak tiba-tiba amnesia, kan? Gue sengaja berangkat ke Manado buat survei lokasi. Eh, lo malah di Gorontalo?"

"Mirabeth? Bisnis gue nggak hanya di Manado, loh."

"Iya. Dan alasan lo masih pertahanin bisnis lo di Gorontalo tentu saja..."

"Sudah, deh. Pokoknya lo ke Gorontalo saja. Gimanapun caranya lo pikirin sendiri. Gue ingin ngajak lo sekaligus jalan-jalan. Kita nginap di pulau cinta, bagaimana? Lo pasti ingin banget kan? Kebetulan yang punya itu masih kerabat keluarga ibu gue."

Setelah memutuskan pembicaraan itu, Mahalini beranjak ke kamar Della. Dia mengetuk pintu dan mendorong pintu dengan pelan waktu terdengar suara Della dari dalam kamar. Kamar itu sudah didekorasi dengan begitu cantik. Tempat tidurnya sudah dihias dengan nuansa adat Gorontalo yang begitu kental.

"Kenapa, Lin? mau pulang sekarang?"

"Nggak kok, kak. Aku penasaran saja. Jadi begini ya dekorasi kamar calon pengantin?" tanya Mahalini sambil tersenyum menggoda.

Awdella hanya tersenyum. Dia lantas menggeser posisi duduknya, membiarkan Mahalini ikut duduk di sampingnya.

"Beginilah kalau keluarga kita masih mempertahankan adat dan kebudayaan, Lin. Ini masih prosesi pranikah, loh."

"Tapi bagus loh, kak. Aku suka kagum kalau ada yang masih mempertahankan adat dan kebudayaannya. Aku juga kepengen menikah dengan prosesi adat kayak gini, tapi ya bagaimana? heheheh."

"Calonnya belum ada ya? Atau sudah ada tapi belum mau dipublish?"

Mahalini buru-buru menggelengkan kepala.

"Belum ada kok, kak. Sumpah!" jawab Mahalini sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.

Awdella hanya tertawa kecil.

Di mata Mahalini, Awdella memiliki banyak kesamaan dengan Nuca. Salah satunya ialah keduanya sangatlah lemah lembut saat bicara.

"Pokoknya kalau sudah ada, kamu wajib ngenalin pacarmu itu ke Nuca, aku dan ibu. Oke? Kami akan senang sekali jika nantinya hadir di hari pernikahanmu. Oh iya, tadi kamu telepon nuca, kan? Kapan dia pulang ke Indonesia?"

Mahalini diam sebentar.

Mengenalkan pacarnya ke Nuca?

Bersambung...

*Sambil menunggu kelanjutan cerita ini, jangan lupa baca novel penulis yang lain ya yang judulnya Aku Pernah Jatuh Cinta.*

Amin Kita BedaWhere stories live. Discover now