Bagian 2

150 14 14
                                    

Nesya sudah terbangun dari subuh buta. Kegiatan pagi yang paling menyenangkan setelah beres menyiapkan makanan untuk anggota keluarganya adalah menunggu mereka bangun sembari merawat taman anggrek cantiknya yang berada di depan rumah. 

Ini salah satu mood boosternya sekedar melihat pohon-pohon kesayangannya itu bertambah akar dan tunas baru sudah membuatnya sangat bahagia. Bonus lagi jika bunga-bunga manja itu tumbuh spike yang akhirnya memberi warna-warni cantik di taman kecilnya membuat Nesya tentu saja seharian tak jemu untuk  memandang. 

Kegiatan ini sering mengundang atensi tetangganya yang wara-wiri santai di jalan depan rumahnya. Ketelatenan Nesya merawat semua tanamannya menjadikan kadang mereka berhenti sejenak untuk menyapa.

"Wah, subur-subur ya, Bu anggrek nya. Bu Nesya telaten banget merawatnya." Bu Wana istri ketua RW yang sedang berjalan santai dengan mendorong cucunya di atas sepeda roda tiga menghentikan langkahnya.

"Eh Iya, Bu. Iseng ini sambil nunggu anak-anak bangun." Nesya mendekat ke arah pagar rumahnya tanpa meletakan gunting tanaman di tangannya. Dia baru saja membuang akar-akar lapuk dari anggrek yang baru saja dia repotting. Mereka berbicara dari dalam dan luar pagar karena pagar rumah Nesya hanya terbuat dari pipa stenlis sehingga dari luar bisa bebas melihat ke dalam pekarangan rumah. Mempunyai rumah di tengah kampung hal  kecil seperti ini adalah salah satu upaya suami Nesya agar tidak  begitu tertutup dari jangkauan tetangga meski rumah tetap berpagar demi keamanan sewaktu pemilik tidak berada di dalamnya.

"Loh tadi saya ketemu putranya Bu Nesya ke masjid jamaah subuh dengan papanya" Bu Wana mengernyit heran karena subuh tadi, sepeda kecil Daffa memang mendahuluinya yang sedang berjalan kaki pulang dari masjid.

Nesya tersenyum membenarkan. Suaminya memang setiap pagi membangun kan anak bujangnya untuk diajak ke masjid berjamaah subuh tetapi setelahnya, mereka akan kembali pulas meringkuk di depan televisi yang terletak di ruang keluarga. Mereka baru bangun ketika waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi untuk bersiap-siap ke sekolah dan suaminya itu menuju ke tempat praktek.

"Iya, Bu. Benar tadi mereka ke masjid, tapi habis itu ya meringkuk lagi."

Mereka berdua tergelak menertawakan kebiasaan buruk para bapak yang kembali tidur selepas subuh. Padahal para istri tanpa asisten seperti Nesya sudah melakukan gerakan layaknya pencak silat sejak subuh buta untuk merapikan rumah dan memastikan semua rapi ketika semua anggotanya mesti beraktifitas di luar.

"Bapak-bapak di mana saja sama ya, Bu. Boro-boro pegang sapu mau bantu kita ya. Padahal tentu kita akan sangat tersanjung kalau dengan senang hati mereka membantu tanpa kita minta."  

Nesya hanya tersenyum membenarkan ucapan Bu RW dalam hatinya Nesya menginginkan hal serupa dibantu pagi hari saat ia kerepotan mengurus dua buah hatinya meskipun itu hanya sekedar mengambilkan handuk saat ia sibuk dengan dua bocah yang sedang aktif-aktifnya, tetapi keinginan itu hanya disimpannya dalam hati. Suaminya memang tak pernah sekalipun turun tangan membantunya meski ia sangat kerepotan. Koran pagi dan segelas kopi lebih menarik baginya dibanding Nesya yang tak jarang harus mengerahkan tenaga extra agar kedua buah hatinya mau bekerja sama dengannya dan ready tepat waktu.

Nesya Pun ingin seperti Mamanya yang selalu dibantu sang papa dalam mengurusi rumah tangga. Padahal waktu itu papanya juga bekerja tetapi tak segan menyingsingkan lengan bajunya ketika tampak di sink beberapa piring atau gelas kotor belum sempat dicuci oleh mamanya. Nesya juga ingat papanyalah yang mengajarkannya mencuci perkakas makannya sendiri waktu kecil hanya agar pekerjaan mamanya lebih ringan

"Jangan lupa nanti sore Dasa Wisma lho Bu."  Bu RW memecah lamunan sekilas Nesya tentang kedua orang tuanya yang saling mendukung.

"Oh, iya Bu.  Nanti saya usahakan hadir." Nesya menjawab dengan kikuk karena kedapatan melamun saat Bu RW entah bercerita apa.

Forgive MeWhere stories live. Discover now