BAB 9

250 65 7
                                    




Aku telat bangun di hari Senin. Gara-gara aku tidur telat semalam. Tak seperti hari biasanya. Hidupku yang teratur setiap hari. Tidur cepat, bangun lebih awal untuk belajar, ke sekolah, dipukuli Steven, pulang sekolah, ke bengkel ke padang pantai (tergantung jika sepedaku dirusaki Steven atau tidak), ke rumah, makan, mengerjakan tugas dan tidur. Menjadi berubah banyak. Semenjak kehadiran Atala dan Dodo.

Sialnya lagi, ban sepedaku kempes. Abang-abang tukang bengkel langgananku memompa dengan segera karena ia sadar kalau aku telat ke sekolah.

"Omong-omong kau sudah jarang ke bengkel ini tiap sore, syukurlah. Anak yang merundungimu sudah taubat?"

"Sepertinya," jawabku.

Pria itu tertawa kecil. "Kau juga sedikit lebih ... hidup."

Lebih hidup katanya? Bagaimana bisa ia berkata seperti itu? Oh, apa mungkin karena aku menjawab pertanyaannya tadi. Apakah orang yang mulai berbicara bisa dikatakan sedikit lebih hidup?

Aku meninggalkannya setelah memberi uang. Syukurlah kali ini ia menerimanya dan tak menolak.

Dugaanku benar, gerbang sekolah sudah ditutup. Beberapa murid yang telat berbaris di barisan khusus dan aku terkejut ada Atala di sana. Dia berjalan mengendap ke arahku, lalu mendesis.

"Kau pasti tidur telat semalam," desis pria itu. Aku merasa tidak nyaman, karena rupanya ada Steven di barisan sebelahku. Pria itu menatapku sinis. Aku pasti akan kena pukulan lagi sehabis ini.

Hukuman yang diberikan kepada murid terlambat bermacam-macam. Aku baru tahu bagaimana rasanya dihukum di sekolah, setelah hampir tiga tahun. Hidupku untuk hukuman di sekolah selalu aman (kecuali jika dihitung dengan hukuman yang Steven berikan). Catatanku di guru Konseling hampir kosong, tak ada hukuman dan tak ada prestasi selain juara harapan satu saat aku ikut cipta cerpen di kelas sepuluh.

Kami dibagi lima kelompok dan kelompokku kebagian membersihkan WC laki-laki. Sial. Di antara banyaknya orang yang telat, aku bertugas bersama dengan Steven dan empat kawannya. Aku akan dirundungi di WC ini. Langkahku terasa berat. Aku sebenarnya tidak takut, hanya saja aku bisa tak ikut pelajaran. Guru akan mencariku dan itu akan menimbulkan masalah baru. Kecuali jika Steven tak menyiramiku air dan juga tak menendangku agar seragamku tak lusuh. Apakah aku perlu meminta izin padanya untuk membuka pakaianku sebelum aku dipukul agar pakaianku tak kotor?

Begitu kami masuk. Seorang kawan Steven menutup pintu. Dan Steven langsung mencekikku. Aku memberikan respon seperti biasa, hanya bisa pasrah dan sedikit mengerang sebagai respon spontan.

"Keparat!"

Tinjauan pertama dilayangkan di perutku. Membuatku mengerang.

"Apa kau pikir dengan berteman bersama dua murid baru itu kau sudah aman dariku? Sampaikan pada Dodo, kalau dia tak lama lagi akan mati."

Tinjuan kedua mengenaiku. Ketiga.

Sampai tiba-tiba seseorang mendobrak pintu. Atala muncul dari sana dan .. BUGK!

Pria kaya-raya dan sempurna itu meninju Steven tanpa aba-aba. Aku terkejut melihatnya. Tubuhku secara spontan mencoba melerai. Tetapi Atala benar-benar menyerang diluar kendali. Aku dan empat kawan Steven yang lain disingkirkan. Karena keributan itu, memancing anak-anak lain untuk mendekat. Bahkan kulihat beberapa perempuan masuk padahal ini WC laki-laki.

Barulah Atala berhenti saat sekuriti sekolah melerai mereka.

*

"Apa yang kalian lakukan?!" gerung Bu Risma, guru konseling kami. "Kalian ini, diberi hukuman kok malah minta hukuman tambahan. Apa yang sebenarnya terjadi, Steven, kau murid teladan, bisa-bisanya terlibat seperti ini di akhir-akhir. Dan kau murid baru, belum berapa hari sudah banyak tingkah, dan kau—ah aku lupa namamu, kukira kau pendiam. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Fine Line Under RainWhere stories live. Discover now