'WHEN you're about to drown on a Poseidon-level wave, don't fight—surrender! Let the ocean take control 'till the tide calms down and you'll be able to swim to the shore.'
Benjamin mengingat titah kawan lamanya, orang Aceh asli, yang kini bekerja sebagai pemandu surf di Kuta, Bali. Pengetahuan maritim dan kemampuan renang-selam kawan Benjamin itu sempat menyelamatkannya pada bencana tsunami di tahun 2004.
Katanya, jika kita sedang dihantam ombak besar, kita tidak boleh melawan. Tarik napas dalam, tahan, dan peluk lututmu—pasrahkan diri beberapa detik pada kuasa alam, biarkan ombak itu menyapu, tenggelamkan diri dan tunggu. Tak lama, semua itu akan berlalu. Kau akan bisa berenang ke tepi ketika semuanya sudah tenang.
Nampaknya, tips survival alias bertahan hidup itu tak hanya berlaku di lepas pantai saja. Saat ini, Benjamin sedang mempraktikkannya. Tarik napas, tahan, dan tunggu.
"Jadi ini toh ponakanmu yang dari Jakarta itu, Moel?" Suara lantang yang berasal dari pria berkopiah tinggi menyadarkan Benjamin. Pria itu lantas menyalami Om Moel dengan senyum ramah, disusul wanita paruh baya dengan kebaya merah.
"Njih (iya), Adi. Khos, sehat? Lama sekali ndak ketemu kita ya ...." Om Moel bergantian menyapa sepasang suami-istri tersebut.
Pandangan pria yang dipanggil Adi tadi teralih ke arah sepupu Benjamin.
"Ini Elizabeth?" tanyanya sambil mengusap pucuk kepala Lisa.
"Iya, Pak Lek. Om Ayah mana? Kok nggak kelihatan dari tadi?"
"Oooh, si Budi masih dinas di Jakarta. Nggak bisa ditinggal, katanya."
Lisa mengangguk kecewa mendengar penjelasan itu, sementara Benjamin sendiri masih bingung. Adi siapa? Budi siapa? Ini lagi, Om kok Ayah—itu siapa?
Masih bertahan dengan ideologi gaya-batu-tenggelam-nya, Benjamin hanya bungkam tanpa bertanya macam-macam. Lelaki itu tak banyak bicara maupun protes. Pasrah saja ketika diajak bersalaman, menjawab seadanya ketika ditanyai, dan tak menolak ketika diberi piringan berisi nasi rawon dengan potongan daging minimalis dan kerupuk udang yang lebarnya menutupi sebagian permukaan piring.
Dalam diamnya, Benjamin mengawasi dan menarik kesimpulan. Setidaknya untuk saat ini dia tau, siapa itu Bi' Khos (wanita berkebaya merah), yang mana adalah istri dari Pak Adi alias Pak Lek (paman, dalam bahasa Madura) yang menjabat sebagai kepala Desa Pandalungan, sekaligus adik dari ayah gadis yang merupakan 'bhekal' atau calon Benjamin itu—si wajah hati yang kini sedang heboh bertukar kabar dengan Lisa ditemani Windu.
"Grogi ya, Mas?"
Satu-satunya manusia yang tampak peka atas keadaan Benjamin saat itu adalah Raka, yang baru saja melemparkan sebuah pertanyaan berbumbu sejumput nada empati.
Grogi? ulang Benjamin dalam hati, berjawab gelengan kepalanya sendiri sebagai jawaban atas pertanyaan itu.
"Saya paham kok, rasanya." Raka melanjutkan sambil menyuap sesendok rawon.
Benjamin menghentikan aktivitas makannya, memutuskan untuk menatap calon menantu-iparnya itu lamat-lamat. Merasa dihujami pandangan setajam belati, Raka akhirnya berhenti mengunyah.
"Lo tau?" bisik Benjamin dengan nada menyelidik. Sudah saatnya dia mendapat jawaban.
"Tau tentang?" balas Raka, sedikit memiringkan kepala.
"Ini semua." Benjamin mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan, membuat Raka ber-oh-pelan sambil mengangguk diam-diam.
Benjamin menghela napas seiring emosinya mulai naik. Bangsat juga sodara-sodara gue ini.

YOU ARE READING
Konstelasi (𝘌𝘕𝘋)
Romance[Wattys 2022 Winner Kategori Romance - Penghargaan Karakter Terbaik] ** Apa jadinya kalau calon CEO muda blusukan ke dalam desa? Benjamin Cokro harus rela "dibuang" selama dua minggu, terasing di pelosok Desa Pandalungan demi mematuhi ujian Eyang K...