Dua. Apa Ini?

107K 7K 259
                                    

Harusnya yang aku rasakan sekarang adalah marah. Ya ... marah pada Rex atas sikapnya. Tapi, entah kenapa, setelah cowok itu pergi, aku malah merasa telah melakukan hal bodoh? Kenapa setelah dia pergi aku malah merasa frustrasi dan malu karena sikapku? Oke! Jangan ngikutin perkataan Miyan kalau aku cinta mati pada Rex. Jangan bilang kalau kedua perasaan itu karena aku takut terlihat buruk di mata Rex. Nyatanya, aku tidak peduli pendapat Rex terhadapku. Karena sejak awal, dia sudah terlalu tahu seperti apa aku.

Yang membuatku merasa frustrasi adalah kenapa juga aku harus mengadu pada Rex kalau aku akan pergi? Kenapa aku harus berteriak seperti itu padanya? Orang-orang pasti akan menganggapku aneh. Ah! Malu. Mereka sudah pasti menganggapku sebagai cewek Rex yang pembangkang, bar-bar, dan suka teriak-teriak seperti tarzan.

Lagian, kalau aku kasih tahu ke Rex, kan artinya dia bakal tahu niatku. Aish! Seharusnya aku tidak perlu bersikap seperti tadi dan pergi diam-diam saat acara Feni dilaksanakan. Rex tidak perlu tahu kalau aku pergi, dan aku tidak perlu lagi dapat kado istimewa berupa omelannya.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku terus-terusan merutuki kebodohanku. Satu hal yang membuatku semakin tidak menyukai pacarku ini; antar-jemput pacar yang tidak akan pernah ada dalam aktivitas rutinnya. Dia mau nganter pas lagi mood saja. Sesuatu yang sangat mustahil. Padahal aku menerimanya--well, ada saat di mana aku sudah kehabisan ide buat menolak dan terpaksa menerima-- jadi pacar karena aku malas terus-terusan berjalan kaki ke halte setiap kali naik angkutan umum. Karena butuh waktu lima belas menit buat jalan dari halte menuju rumah.

Lelah? Pasti.

Setiap aku mengeluh ke Ayah dan minta dibiarin pakai mobil untuk ke kampus, selalu tidak dibolehkan. Jalan kaki juga bagian dari perjuangan buat dapat gelar sarjana, dan aku harus ngelewatin semua itu, katanya. Tega banget, 'kan?

"Udah pulang, Dek?" Teguran Naufal, abangku, membuat niatku untuk segera masuk ke kamar dan bermalas-malasan jadi batal. Dia satu-satunya saudara yang aku punya. Perbedaan umur kami hanya terpaut enam tahun, tapi dia sudah sukses menjadi seorang dokter spesialis di salah satu rumah sakit swasta di sini. Dia orang yang gemar bermain. Anehnya, dia bisa menyelesaikan SMP-SMA dalam waktu empat tahun. Ck! Terlalu membanggakan.

"Kenapa, Bang?" Aku mendekatinya yang berada di ruang televisi. Asyik banget yang lagi nikmatin off day-nya.

"Spaghetti kayaknya enak nih, Dek. Bikinin, dong!" pintanya, tanpa mengalihkan tatapan dari layar datar di depannya.

"Gue bahkan belum sempat duduk, Bang. Kenapa nggak bikin sendiri aja, sih?" gerutuku.

"Kan ada lo," sahutnya dengan enteng. Aku menyerah dan akhirnya berbalik menuju dapur untuk membuatkan pesanan abangku yang bossy itu.

"Bikinnya yang banyak, Dek. Temen-temen gue pada mau dateng nih," teriaknya. Aku makin cemberut.

Butuh waktu empat puluh menit makanan pesanan abangku selesai tertata rapi di meja. Dengan langkah terseok karena terlalu lelah, aku kembali menghampiri Naufal yang lagi heboh main PS bareng teman-temannya. Sudah pada kerja, tapi tingkahnya masih kayak anak kecil.

"Abang, makanannya udah ada di meja. Gue ke kamar sekarang, ya," pamitku, lalu segera berbalik tanpa menunggu jawabannya. Berharap permintaannya bisa berhenti sampai di situ. Tapi, bukan Naufal namanya kalau tidak menyebalkan.

"Dek, minumnya?"

"Udah ada di meja makan," sahutku malas.

"Oh iya, Dek...."

Rex's Girlfriend (Sebagian Part Sudah Dihapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang