2. When You Come

5.4K 272 6
                                    

7 Juli, 3 tahun yang lalu.

Bandara Soekarno-Hatta lebih padat pada bulan ini dan kemungkinan besar akan bertahan seperti itu hingga dua bulan kedepan karena dinegara empat musim, saat itu sedang berlangsungnya musim panas. Libur panjang yang Niken dapatkan tidak ia sia-siakan. Selama satu tahun berada di Australia, biarpun jaraknya tidak terlalu jauh dengan Indonesia, tapi Niken harus akui bahwa ia rindu Indonesia. Rindu kemacetan beserta bunyi klakson yang diiringi sumpah serapah di Jakarta.

Ia merindukan keluarganya. Merindukan sahabatnya. Dan well, ia tidak bisa menampik juga bahwa ia merindukan seseorang. Satu tahun mempertahankan hubungan jarak jauh tidaklah mudah. Tapi Niken percaya bahwa ia bisa, dan memang benar-benar bisa karena selama itu, Niken bisa membuktikan bahwa jarak bukanlah suatu masalah.

Semua orang yang mengenal Niken tidak tahu jika sekarang kakinya sudah menapaki lantai Bandara Soetta. Ketika ia mencegat taksi dan mendapatkannya, Niken membuka lebar-lebar jendela penumpang. Aroma polusi, terik matahari yang menyengat, macet, klakson dan sumpah serapah itu berada di hadapannya. Senyumnya mengembang. Ia tidak percaya bahwa tanah yang ia pijak, langit yang ia junjung adalah Kota Jakarta. Pasalnya memang tidak sampai 24 jam yang lalu Niken masih dikelilingi orang-orang dengan rambut berbagai macam warna dan cara jalan mereka yang tergesa-gesa.

Niken sampai heran, mengapa mereka semua tergesa-gesa hanya untuk masuk kantor? Padahal mereka bisa berangkat lebih pagi dan berjalan dengan santai. Tiga bulan pertama, Niken masih sulit menyesuaikan diri. Seringkali dirinya diinterupsi dari belakang karena jalannya yang lambat hingga menghalangi jalur orang lain. Ya mau bagaimana dong? Niken tidak terbiasa berjalan dengan terburu-buru. SIM internasionalnya belum ia dapatkan karena Niken masih disibukkan dengan tugas kuliah dan organisasi yang ia ikuti hingga ia tidak sempat ikut tes untuk mendapatkan SIM internasional.

Tapi sekarang Niken tidak perlu khawatir untuk berjalan jauh dengan terburu-buru. Disini, di Jakarta, harga taksi lebih murah. Mau berjalan selambat apapun juga tidak ada yang menginterupsi. Lagi-lagi Niken tersenyum. Iseng, Niken mengirim pesan singkat dengan sosial media kepada seeorang yang ia rindukan, Arsen.

Lagi ngapain?

Beberapa detik kemudian Arsen membalas.

Nyetir. Mau ke Sevel, nih. Kamu?

Senyum. Niken menyentuh layar ponselnya. Mengetik beberapa kata.

Aku sih diem aja. Ikuuuut!!

Arsen membalas lagi.

Kesepian ya? Sini dong ke Jakarta. Ke Sevel yang deket rumah Yoyok.

Jangan ketempat lain. Aku bakalan ada di Sevel sana soalnya.

Niken kali ini terkikik. Membuat bapak supir taksi itu mengintip dari spion tengah untuk melihat Niken sekilas. Lagian Arsen ada-ada saja. Untung Niken sudah berada di Jakarta, kalau belum, candaan Arsen ini benar-benar konyol. Ke Indonesia hanya untuk ke Sevel?

Jemput aku mau?

Di tempat lain, Arsen menggelengkan kepalanya. Menjemput Niken ke Australia? Sungguh Arsen sangat ingin. Tapi jika ia benar-benar pergi kesana, bagaimana kerjaannya nanti? Tapi arsen tetap membalas dengan;

Mau dong. Kalo aku naik kopaja aku harus turun dimana?

Niken terkekeh lagi mendapat balasan konyol yang lain.

Gak usah deh, aku aja yang ke Sevel. Tunggu yaaa!

Arsen yang masih menganggap Niken bercanda itu membalas;

Oke, aku tunggu. Jangan lama ya!!

Niken mengubah tujuan menjadi ke area rumah Yoyok—teman Arsen yang juga teman Niken—kepada pak supir taksi. Pak supir taksi itu mengiyakan dan menambah kecepatannya saat Niken meminta begitu.

InsanityWhere stories live. Discover now