11.

240 63 12
                                    

"Huh?" Aku menoleh menatapnya lalu memandang kakiku, "bisa, bisa, bisa." Dan merutuk dalam hati setelahnya.

Astaga, kenapa aku harus menjawab seperti itu? Seakan aku sangat takut padanya.

Juna justru terkekeh lucu. Ia tak membahasnya lagi. Lalu mulai memapahku berjalan.

Akhirnya aku bisa duduk dan mengistirahatkan penat. Juna mengambil tempat di sebelahku, suara tegukan airnya membuatku menoleh.

"Kenapa? Mau minum?"

"Tidak, aku sudah dan punyaku masih ada."

"Setelah turun dari sana, kita harus mencari tukang pijat atau minimal mengertilah masalah kaki Lina." Ucap Kevin tiba-tiba, telunjuknya mengarah pada kakiku, "kakimu mulai bengkak. Itu akan semakin membesar sekian waktu jika belum di obati."

"Aku setuju. Bertahan ya, Lin." Aksa mengangguk.

Aku memberinya senyum, "Terimakasih."

Aksa berjongkok di depan kakiku yang terjulur. Aku menatapnya bingung. Sementara dari ujung mata, tatapan Juna menghunus.

"Kenapa kau disana?"

"Aku ingin mengganti perbannya." Aksa mengangkat kakiku yang terkilir dan di taruhnya di pangkuan, "sudah basah. Ternyata pendarahannya belum berhenti. Ini bisa-bisa amputasi kalau semakin lama."

"Se-"

"SERIUS???" Teriakan cemas Juna mengalahkan raut pucatku. Nampaknya ia yang jauh lebih was-was. Sosoknya bahkan sudah di hadapan Aksa yang tercengang.

"Astaga, ada apa denganmu Juna? Aku hanya bercanda. Padahal Lina yang sakit tapi kau yang seperti akan kehilangan kaki, hahaha..."

"Tidak lucu Sia... Bugh..." Karena tidak bisa berkata-kata kotor, Juna menggantinya memukul kepala Aksa keras. Ia kembali duduk di tempatnya.

"Sakit!" Aksa melotot kesal.

Tapi Juna mengabaikan, "Cepat obati! Sebentar lagi kita akan mulai berjalan lagi." Ia berdiri lalu berjalan memeriksa keadaan.

Mataku tak sengaja menemukan tatapan Lili yang jatuh pada punggung Juna. Sepertinya ia menyaksikan semua itu. Terbukti dirinya yang menggigit bibir dengan tangan mengepal. Ia cemburu. Dan aku cepat-cepat menunduk ketika tatapannya berganti padaku.

Astaga, kenapa aku harus terjebak di situasi ini?

***

Hujan tiba-tiba turun di waktu tidak tepat. Senja telah muncul di ufuk barat. Kami bergegas mencari perlindungan. Beruntungnya ada sebuah gubuk tak terpakai mungkin bekas warga yang dulu tinggal disana tapi sekarang seperti sudah lama tidak ditempati. Para lelaki membersihkan sarang laba-laba yang menumpuk di bila-bila bambu dan atap jerami sementara Fani dan Lili membuat perapian. Aku? Sejak tadi aku bersin dan disuruh berdiam di sudut gubuk. Kata Lili, dia tidak ingin tertular. Aku tidak bisa menyalahkannya, mungkin ini gejala flu dan flu cepat sekali menular. Rambutku masih basah. Namun, aku tak mampu mengeringkan badan. Kedua tanganku gemetar.

Karena hujan tadi, jadi pakaian yang kami kenakan basah. Dan beberapa laki-laki sudah menanggalkan baju lalu menggantungnya pada temali yang di buat di dalam gubuk. Sementara perempuan belum ada yang berniat mengganti baju. Mereka semua tengah sibuk dengan tugas masing-masing. Tinggalah aku sendiri, menahan gigil menunggu sampai Fani atau Lili (aku tak yakin) akan mengajakku berganti baju di tempat aman. Mataku memejam. Kedua tangan memeluk lutut. Sejak tadi gigiku terus bergemelutuk. Tubuh berusaha mengeluarkan panas namun aku tak yakin akan bertahan lebih lama.

Aku membuka mata manakala sesak mulai menghampiri. Laju pernapasanku terasa pelan nan susah. Melirik sekeliling, ku lirik Lili sedang merogoh barang diantara tumpukan ransel di dekatku.

Bagai Bunian Merindukan Bulan [End]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum