•°The Call°•

45 31 15
                                    

SESUNGGUHNYA, aku tak ingin mengecewakan siapa pun. Tapi, aku tak punya pilian selain mendekam di rumah dan tidak ke sekolah.

Aku tak ingin menjadi penakut, hanya saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada seorang murid yang pergi di tengah-tengah tur sekolah--bahkan tak datang lagi sampai dua hari. Mungkin guru-guru itu marah. Mungkin anak-anak itu semakin jahat. 

Ditambah lagi, kepalaku sakit. Rasanya seperti tertusuk ribuan duri. Aku ingat pernah merasakan ini sebelumnya, dulu sekali, ketika aku  masih lebih kecil daripada sekarang. Mama sudah memeriksakanku ke dokter yang adalah Om Arzanka, yang memasang banyak kabel ke kepalaku. Aku tidak tahu kabel-kabel apa itu, tapi sangat mengerikan. Dia seperti menyalurkan sesuatu yang membuat gambar-gambar gelombang pada layar digital.

Aku tak sanggup menahan sakit kepala sehingga air mataku jatuh juga. Aku mengambil air ke dapur untuk minum, tapi ternyata, air mineral tak cukup. Rasanya masih sakit sekali. Dengan tubuh yang semakin panas, aku terpaksa harus memasak--namun makanan instan sudah habis. Kondisi antara lapar dan demam itu membuatku lemas sampai aku tersungkur ketika di perjalanan menuju kamar. 

Kuharap hanya tertidur.

⛄❄⛄

Bangun-bangun, sakit kepalaku cukup mereda, meski perutku masih kosong seperti ususnya terlilit satu sama lain. Mama bilang, itu adalah sakit mag. Aku harus segera makan atau penyakitnya akan semakin parah. Jadi, kupaksakan untuk pergi ke luar naik sepeda dan mencari ATM (sembari membawa brosur sekolah yang mencakup peta kecil), karena kartu ATM itulah satu-satunya yang punya uang.

Ada sebuah ATM yang namanya sama dengan nama pada kartuku. Aku memasukinya dan disambut udara dingin membekukan. Bagaimana mungkin dalam tempat sekecil itu terdapat sampai dua pendingin ruangan? Boros sekali. Tapi, aku tak berkutik ketika mesin ATM menayangkan video demo. Apa yang harus kulakukan dengan kartu ini?

"Kenapa, Dik? Ada masalah?" seorang pria yang tengah memakai mesin ATM lain menoleh padaku.

"Saya tidak mengerti cara pakai ini."

"Orang tuanya di mana?"

"Tidak ada."

Pria itu manggut-mamggut. "Adik mau ambil uang atau transfer?"

"Ambil uang."

Pria itu lantas melihat-lihat keadaan sekitar, lalu mendekat. "Saya bisa bantu. Kemarikan kartu Adik. Berapa pinnya?"

"Pin apa?"

"Password-nya."

"Tidak tahu."

"Kok enggak tahu? Kalau serius mau dibantu, kasih tahu aja."

"Memang tidak tahu."

Mendadak, pria itu menangkap pergelangan tanganku. Mulanya aku agak kaget, tapi dia berkata, "Mari saya antar ke tempat pembuatan pinnya."

Kami keluar dari ATM menuju sebuah mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari sana. Dia menyuruhku masuk, tapi aku menarik tanganku darinya. "Saya punya sepeda."

"Buat apa naik sepeda kalau ada mobil? Ayo, cepat masuk. Gedung pembuatan pin ATM agak jauh dari sini, nanti capek kalau naik sepeda."

Lututku langsung gemetar. Ketika aku hendak berlari, dia mencengkeram lenganku lagi. Aku menelan ludah, melihat bahwa toko-toko di sana sudah tutup karena hari menjelang sore. Tidak ada orang yang melihat kami.

Aku berusaha menarik tanganku terus, tapi dia semakin kuat mencengkeram. Aku sudah nyaris dibekapnya kalau bukan karena seseorang yang tiba-tiba datang.

Once in a Blue Moon [✔]Where stories live. Discover now