Sheet 30

106 17 8
                                    

Semilir angin membelai kulit Sephia dengan lembut. Harum bunga mawar memenuhi indra penciuman gadis itu sekarang. Suasana sangat tenang, jauh dari kerumunan. Di hadapannya, terdapat sebuah makam yang baru saja ia do'akan dan taburi bunga mawar.

"Ini beneran Radea?" tanya Sephia tak percaya. Berkali-kali Sephia menanyakan hal yang sama.

Septyan—lelaki yang berada di samping Sephia lagi-lagi mengangguk. "Iya, dia meninggal di hari yang sama pas lo bunuh diri."

Sephia benar-benar tak mempercayainya. Ia kira hubungan Septyan dan Radea akan awet. Ternyata tidak, Radea terlebih dahulu pergi untuk selama-lamanya.

"Sebenarnya, waktu itu gue pengen cerita sejujurnya. Gue mau jelasin semuanya. Tapi, lo malah pergi gitu aja. Wajar, gue gak nyalahin lo karena lo marah. Gue cuma nyesel karena gue terlalu egois," ucap Septyan.

"Lo gak egois, lo cuma pengen pertahanin apa yang emang seharusnya lo dapetin." Sephia sudah memaafkan Septyan setelah mendengar cerita dari Belia. Gadis itu bercerita bahwa Septyan-lah yang membawa dirinya ke rumah sakit dengan susah payah. Setiap hari pun, Septyan mengunjungi rumah sakit hanya untuk melihat dirinya dan menangisinya.

"Tapi tetep aja, itu bukan hal yang seharusnya gue lakuin. Sebenernya ... gue udah pernah mutusin Radea. Tapi, Radea gak mau putus. Dia pengen gue nemenin dia sampe dia meninggal. Gue juga baru tau dia punya penyakit kanker darah yang udah parah. Di saat itu juga, gue tau kalo Radea gak bener-bener sayang sama gue. Radea cuma pengen wujudin semua keinginannya sebelum meninggal, salah satunya adalah punya pacar. Dan selama itu, gue selalu di samping dia, bahkan nemenin dia ke dokter, sampe akhirnya ... dia meninggal. Gue ngerasa bersalah karena gak ikut makamin dia 2 tahun lalu," jelas Septyan panjang lebar.

"Tunggu! Radea punya kanker?" tanya Sephia terkejut.

Septyan mengangguk. "Iya, udah dari lama."

Sephia merasa sesak mendengar pernyataan itu. Gadis cantik yang dulu sempat ia benci, rupanya memiliki penyakit mematikan seperti kanker kulit. Kalau tahu begitu, Sephia tak ingin membenci gadis itu. Bahkan ia akan merelakan Septyan sepenuh hati, tanpa harus sakit hati dan bunuh diri.

Lucu. Ia dulu sehancur itu sampai memilih untuk mengakhiri hidup.

"Radea ... lo cewek yang kuat. Yang tenang, ya, di sana. Semoga lo nemuin orang yang jauh lebih baik dari pada Septyan. Soalnya, Septyan lebih pantes jadi babu lo dari pada pacar lo," ucap Sephia sedih.

"Terserah, Sep! Terserah! Nanti gue sediain lubang kubur buat lo di sebelah Radea, biar kalian tenang sama-sama." Septyan membalasnya dengan asal.

"Heh, kok malah bercanda, sih?!" ketus Sephia seraya menatap Septyan yang tengah berjongkok di sebelahnya. "Gue lagi sedih!" Sephia memprotes.

Di dalam hati, Septyan mengatakan kata-kata kasar untuk Sephia. Septyan sedang menahan diri untuk tidak memasukkan gadis itu ke kebun binatang, bersama dengan monyet-monyet di sana.

"Yang tenang, ya. Kalo lo ketemu Papa gue, tolong sampaiin, gue kangen sama dia," ucap Sephia.

Radea mana tau Papa lo siapa! Dasar cewek! batin Septyan lagi. Septyan hanya berani membatin.

"Sep, gue minta maaf, ya. Gue udah bikin lo putus asa. Harusnya—" Ucapan Septyan terpotong.

"Ssstt! Maaf lo gak berguna sekarang. Gue udah maafin lo. Harusnya gue yang minta maaf karena gue cuma bisa ngerepotin lo selama ini." Sephia menatap Septyan dengan senyum.

"Makasih, ya, Sep. Lo udah mau sembuh dan gak ninggalin gue," ucap Septyan.

"Maaf udah bikin lo khawatir selama ini."

Peluka(n) [END]Where stories live. Discover now