Om Tyo 2

2.8K 208 3
                                    

Mereka bertiga akhirnya sampai di sebuah game station pada salah satu mall di Pekanbaru. Tiara terlihat begitu senang. Ia berlari dari satu game ke game lainnya. Dan om Tyonya terlihat dengan sabar mengikuti kemanapun Tiara pergi, mendampingi Tiara memainkan berbagai macam game. Rania tersenyum dengan perasaan haru melihat kedekatan keduanya. Sejak akrab dengan Tyo, Tiara tidak pernah lagi menanyakan kapan ayahnya akan datang. Mungkin kehadiran Tyo sedikit banyak telah menggantikan sosok ayahnya di hati dan pikiran Tiara.

Tiba-tiba Tiara mendatangi tempat Rania duduk menunggu dan menarik bundanya itu. Rania mengikuti langkah gadis kecilnya di antara keramaian pengunjung. Ia membawa Rania ke tempat bola basket. Tiara masih ingat ternyata, dulu merka sering bermain bola basket.
Tyo mengekori mereka dari belakang.

"Om Tyo, aku sama Bunda main basket, ya," ucap Tiara seraya mengguncang tangan Tyo.
"Oke, Cantik. Kita akan bermain bersama," jawab Tyo seraya menggesekkan kartu ke mesin permainan. Tidak berapa lama bola-bola basket pun menggelinding ke luar dari palangnya.

Tiara telah berdiri di atas meja mesin permainan. Lalu Rania dan Tiara segera bermain dengan penuh semangat. Mereka berdua berloncatan dan melemparkan satu per satu bola ke dalam ringnya. Tyo dengan sabar memberikan bola basket satu demi satu pada Tiara.

Mereka berdua bermain dengan  gembira, apalagi  jika bola berhasil masuk ke dalam ring, Tiara akan besorak kegirangan. Setelah beberapa kali game over Tiara akhirnya minta turun dan minta bermain game yang lainnya. Tiba-tiba ponsel Rania berbunyi. Rania memberi isyarat kepada Tyo untuk izin ke luar mengangkat telepon. Tyo mengangguk paham. Rania mencari tempat yang tidak terlalu ramai, di depan sebuah toko yang sedang direnovasi.

“Assalammualaikum.” Rania mengucapkan salam dengan hati yang masih ragu, karena hanya nomor yang tertera di layar ponsel.

“Waalaikumsalam.” Terdengar suara dingin di ujung sana. Deg, dada Rania bergemuruh. Suara yang sudah teramat lama tidak kudengar. Suara yang selalu dirindukan. Tapi juga suara yang sangat dibencinya.

“Ya, Mas, ada apa?” Rania mencoba menetralisir hati dan perasaannya.

“Kamu dan Tiara di mana?” tanyanya tanpa berbasa basi menanyakan kabar mereka. Rania  menelan ludah yang tiba-tiba terasa pahit.

“Apa itu masih penting buat Mas?” suara Rania terdengar bergetar.

“Apa seperti itu sikap seorang istri yang baik? Meninggalkan rumah tanpa pamit dan permisi pada suaminya?” Rania tersenyum perih.

“Istri, Mas? Bukankah Mas sendiri yang mengatakan ingin berpisah? Aku rasa kita sudah tidak  punya hubungan apa-apa lagi, Mas” Suara Rania mulai terdengar biasa. Sekuat tenaga perempuan itu  menahan air mata agar tidak tumpah. Ia tidak boleh menangis lagi.

“Aku berubah pikiran. Aku ingin kita kembali bersama. Bukankah, waktu itu kamu mengatakan bersedia menerima aku apa adanya.” Suara Yuda terdengar penuh keyakinan.

“Sekarang aku yang berubah pikiran, Mas. Aku menerima keputusanmu untuk berpisah.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Yuda terdiam untuk beberapa saat.

“Tapi aku kan tidak pernah melupakan kewajibanku sebagai seorang suami ataupun ayah. Aku selalu mengirimkan uang ke rekeningmu setiap bulannya.” Suara laki-laki itu terdengar begitu percaya diri. Ya, benar sekali setiap bulan ia masih mengirimkan uang belanja ke rekening Rania. Tetapi, jumlahnya setiap bulan semakin berkurang. Sampai terakhir, sebelum Rania memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah, uang yang dikirim Yuda tak cukup lagi untuk membayar listrik dan gaji pembantu. Untung dari awal menikah Rania membiasakan diri untuk selalu menabungkan uang belanja meski berapapun jumlahnya.

Kamu akan menyukai ini

          

“Mas, satu tahun terakhir ini, Mas sangat berubah. Aku tahu, hati Mas bukan lagi untuk kami. Aku bukan perempuan yang hebat Mas, aku bukan perempuan yang kuat. Aku belum bisa menerima semua perlakuan Mas dengan sabar dan iklas. Aku menyerah Mas. Biar aku yang mundur. Silakan urus surat perceraian kita.” Kali ini Rania sudah tidak dapat lagi menahan tangis. Air mata itu kembali tumpah. Rania menggigit bibir agar isak tangisnya tak didengarnya di seberang sana.

“Rania, dengarkan aku dulu ... Rania ...dengarkan aku bicara ...” Suara laki-laki dulu yang teramat Rania cintai itu masih terdengar di telepon. Rania memutuskan sambungan telepon dan bersandar ke dinding toko.

Banyak masa-masa sulit yang telah diami Rania sejak satu tahun terakhir. Dan Yuda sebagai suami tidak mengetahuinya. Ia tak pernah lagi ada di saat hal-hal buruk menimpa Rania dan Tiara. Rania sempat keguguran dan harus dirawat selama satu minggu di rumah sakit. Yuda tidak mengetahuinya karena setiap Rania menelepon selalu perempuan bernama Anggi itu yang mengangkatnya. Rania hanya ditunggui oleh Bi Sum dan Tiara. Saking kecewanya, ketika beberapa minggu setelah Rania keluar dari rumah sakit dan Yuda pulang ke rumah, Rania tidak bercerita apa-apa tentang kegugurannya.

Lalu beberapa kali Tiara demam, menggigau memanggil ayahnya, dia tak bisa lagi dihubungi. Adakah yang lebih menyakitkan daripada diabaikan dan tak lagi dianggap? Apa Rania salah kalau akhirnya menyerah? Masih banyak lagi kesakitan-kesakitan yang Rania dan Tiara rasakan satu tahun terakhir ini. Tapi sudahlah, Rania ingin belajar melupakan semua rasa sakit ini.

“Bunda.” Tiba-tiba Tiara dan Tyo telah berada di samping Rania.
“Bunda kenapa nangis?” tanya Tiara seraya menggoyang-goyang tangan Rania.

“Tidak sayang, Bunda nggak nangis. Ini tadi ada debu masuk ke mata bunda. Bunda kucek-kucek, eh jadi keluar air matanya.” Rania menjawab seraya mencoba tersenyum.

“Oh, iya, Bunda. Sini Iya tiup biar debunya pergi Bunda.” Tiara berkata dengan penuh perhatian. Rania menunduk dan Tiara segera meniup matanya. Dan ketika Rania berdiri kembalia tiba-tiba Tyo telah berada begitu dekat tepat di sampingnya.

“Jangan suka bohong sama anak kecil.”" Tiba-tiba Tyo berbisik di telinganya. Rania meliriknya dengan mata membesar. Sementara pipi rasanya sudah merah entah seperti apa bentuknya.

“Ayo, Bunda, kata om Tyo kita makan, terus kita cari baju dan sepatu buat Iya,” ucap gadis kecil itu dengan riang. Rania melirik Tyo, merasa heran, kenapa jadi begini banyak agenda ngemallnya. Tadi janjinya hanya bawa Tiara ke game station. Apa dia nggak tahu kalau Rania lagi dikejar deadline? Tyo hanya mengedikkan bahu melihat tatapan penuh tanya dari Rania. Akhirnya Rania mengikuti juga kemana langkah Tyo membawa Tiara.

Tyo dan Tiara berhenti di sebuah food court. Mereka segera duduk dan mengambil daftar menu yang terletak di meja. Meski tidak setuju dengan tambahan acara makan ini, Rania tidak bisa apa-apa. Rania ikutan duduk di depan Tyo dan Tiara.

“Mau coklat panas, nggak?” tanya Tyo seraya menunjukkan daftar menu.

“Aku air mineral aja,” jawab Rania tanpa melihat daftar menu yang disodorkan Tyo.

“Coklat panas bisa mengurangi kesedihan dan menghilangkan stres. Baik untuk wanita yang kondisinya seperti kamu.” Suara laki-laki di depan Rania itu terdengar begitu santai. Tetapi, Rania merasa Tyo sedang mengejeknya atau memang laki-laki itu tengah memberikan perhatian padanya?

“Oke, coklat panas, dan soto medan,” jawab Rania terdengar mulai bersemangat. Terlihat bibir Tyo melengkung menahan senyum.

“Kalau Tiara mau makan apa sayang?” tanya Tyo pada Tiara.

“Iya pesan es kim, ya om,” ujar Tiara dengan mata berbinar.
“Oke kita pesan es krem tiga ya, buat bunda, om, dan Tiara.” Pelayan yang telah berdiri di samping meja pun mencatat pesanan mereka.

“Lalu makannya apa sayang?” tanya Tyo lagi pada Tiara. Rania hanya diam memperhatikan
interaksi keduanya.

“Aku mau ayam ya Om,” jawab Tiara. Tyo pun melihat daftar menu.

“Ayam krispi dua ya dek. Soto medan dua. Coklat panas dua dan es krim tiga. Nasinya juga tiga,” pesan Tyo pada pelayan.

“Baik Pak, ditunggu 15 menit, ya, Pak,” ucap pelayan sebelum berlalu.

Tiba-tiba ponsel Rania kembali berbunyi. Nomor yang digunakan Yuda tadi kembali terpampang di layar ponsel. Rania menatap layar ponselnya dengan gusar. Tyo mengambil alih ponsel Rania dan menekan tombol merah. Dering ponsel pun mati seketika. Lalu dengan santai ia meletakkan kembali ponsel Rania di atas meja. Rania menatapnya dengan takjub. Hebat sekali gaya laki-laki di depannya ini. Gayanya seperti menghadapi si kecil Tiara aja.

“Biar nanti nggak harus bohong lagi sama anak,” ujar Tyo dengan santai. What? Rania  menatapnya dengan mata membola. Luar biasa, decak Rania dalam hati. Tapi, setidaknya laki-laki di depannya ini telah menyelamatkan hatinya untuk beberapa saat.

Bersambung …

"Kejamnya Cinta"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang