10

73 6 0
                                    

Dari tempat yang kurasa tak diketahui Wizi, aku masih memperhatikan mereka. Apakah ini yang di namakan meeting? Sibuk? Urusan kantor? Hah, aku tak percaya akan apa yang telah kulihat. Aku mencoba untuk menelepon Wizi saat itu juga. Diujung sana aku melihat Wizi hanya mengintip sedikit ponselnya dan membalikkan ponsel tersebut, tanpa bunyi. Ya, tanpa bunyi. Pantas saja teleponku jarang diangkat, what's app pun jarang dibalas.

Aku mencoba untuk menelepon Lian. Aku tak ingin, perbuatanku menjadi bumerang nantinya. Aku butuh Lian saat ini juga.

"Hallo.."

"Hallo Yan, gue lagi ngikutin Wizi nih. Gue harus gimana? Gue telfon gak diangkat, dia malah peluk-pelukan sama cowok entahlah siapa. Pengen gue labrak Tahu gak."

"Saabar zaannn.. Sabaar.. Calm down.. Lo yakin mau labrak didepan orang banyak? Jangan gegabah Zan."

"Terus gue mesti gimana? Gak bisa gue terus-terusan kaya gini Yan."

"Zan, lo dengerin gue sekarang." Firzan mendengarkan instruksi Lian dengan serius. Sesekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. Meski begitu, terkadang Firzan masih saja mencela ide-ide yang mengalir dari Lian karena tersulut emosi.

"Oke.. Sekarang lo tinggalin tempat itu, usahain lo gak keliatan sama sekali, dan pergi." Lian memutus sambungan sepihak.

Sementara itu, Firzan yang masih mengintai situasi saat ini berpikir keras bagaimana akan keluar dari tempat ini. Jika dia keluar sekarang, maka Wizi akan dengan sangat jelas melihat wajahnya.

Sepuluh menit berselang, firzan melihat wizi berjalan menuju toilet. Ini saat yang tepar untuk dia pergi dari tempat ini. Firzan segera membayar pesanannya di kasir, dan segera pergi meninggalkan tempat ini.

                            ********

Tepat pukul tujuh malam, Firzan melihat sebuah mobil sedan hitam berhenti didepan pagar rumah wizi. Ia melihat dari balik tirai jendela yang sedikit terbuka. Benar memang dugaan Lian, bahwa Wizi pasti diantar pulang oleh lelaki itu. Kini amarahnya sudah sampai di ubun-ubun.

Wizi berjalan Masuk setelah menunggu lelaki itu tak terlihat lagi di matanya. Ia berjalan santai sembari tersenyum manis beberapa kali. Entah apa yang dipikirakannya.

Pintu terbuka, Wizi pun terkejut melihat Firzan yang tengah menunggunya, duduk sendiri sedari tadi.
"Fir..zan.." ucapnya gugup.
"Ka..mu dari tadi?" Wizi mencoba menggaruk lengannya yang tak gatal. Rasa takut mulai menjalar. Sementara Firzan diam tak bergumam.

"Dari mana aja Zi? Firzan udah nungguin kamu dari satu jam lalu." Meta, kakak Wizi memberi sedikit informasi. Meta meletakkan segelas air putih diatas meja dan mempersilahkan Firzan untuk minum.

"Makasih Kak." Firzan mencoba mengatur nada suaranya setenang mungkin.

"Kakak tinggal dulu ya." Meta berlalu dengan sebuah nampan kosong ditangannya.

"Zan, kamu kerumah kok gak ngabarin aku?" Wizi mulai bersuara.

"Coba lihat handphone kamu. Udah Berapa kali aku telfon tapi gak diangkat?" Nada ketus meluncur dari mulut firzan begitu saja.

"Amm.. Itu, aku.."

"Apa? Meeting? Kok kamu tiba-tiba jadi gagu?" Firzan mulai tak tahan. Amarah sudah sampai diubun-ubun. Dikeluarkannya ponselnya, dan firzan pun sibuk menekan-nekan benda pipih tersebut.

Tak lama berselang, ponsel Wizi bergetar beberapa kali hingga akhirnya notifikasi itu berhenti. Ia terkejut dan mengambil ponselnya dari dalam tasnya. Sebuah pesan whatsapp dari Firzan. Ia mencoba membuka pesan tersebut, betapa terkejutnya Wizi melihat isi pesan Firzan untuknya.

Friend In Comfort ZoneWhere stories live. Discover now