lembar terakhir yang ditaruh di awal

51 11 10
                                    

jeno memandangi foto seorang gadis jelita dalam bingkai warna emas yang dihadapkan ke arahnya, serta arah orang-orang lain. gadis itu, yang sosoknya terpenjara dalam potret dan sekarang cuma bisa jeno jumpahi di dalam sana, tersenyum ayu sampai matanya menyipit, seolah bulan sabit telah menemukan langitnya yang baru---pada kedua netra gadis itu.

sejujurnya kalau sepuluh atau dua puluh tahun lagi jeno diminta mengingat kembali perihal si gadis, pasti yang pertama ia ingat adalah senyumannya. senyum itu, mau dicari sampai ujung dunia pun, jeno rasa tidak bakal pernah bisa ia temui lagi. ia cuma ada satu dan satu-satunya, biasa terukir pada bibir si gadis jelita.

pokoknya, jeno sangat hapal dengan senyuman yang mirip-mirip gulali di pasar malam itu. orang lain mungkin tidak berpikir sama, sebab si gadis jarang tunjukkan hal itu pada yang lain. pokoknya, cuma jeno yang ia beri tahu soal betapa indah senyumnya dan hal-hal lain yang bisa buat ia tersenyum.

barangkali, si gadis lupa beritahu jeno soal yang lain. misal, soal luka dan rahasianya yang ia pendam hingga akhir.

sesal yang paling sesak buat jeno adalah waktu teleponnya berdering dengan nama si gadis tertera, tapi saat diangkat bukan suara gadis itu yang menyahut, melainkan suara wanita paruh baya dengan isak tangis pilu. lantas pada sesi selanjutnya, jeno harus dihadapkan pada tubuh dingin milik gadisnya yang pergi tanpa pamitan.

mungkin ia bukannya tidak sempat pamit, tapi tidak ingin pamit. biar saja jeno hidup dalam rasa bersalahnya. benar, karena itu adalah hukuman bagi jeno yang tidak mau tahu apa pun dan tidak mau lihat apa pun selain si gadis dan bahagianya.

"kalo aja gua tahu jadinya bakal kaya gini, gua ga akan bilang jangan nangis karena lo jadi jelek kalo nangis. gua bakal bilang ke lo buat nangis sepuanya karena lo tetep cantik walau pun nangis."

[]

her last smileWhere stories live. Discover now