8. Titip Doa di Mekkah

20 4 0
                                    

~Tanpa perlu meminta doa, tanpa izin aku telah menyematkan namamu disetiap salat lima waktu dan di sepertiga malamku~

                           ♤♤♤

Udara malam terasa hangat. Musim kemarau enggan beranjak. Jam dinding berwarna coklat muda dengan jarum pendek putih bergerak ke arah angka delapan. Imaz masuk ke kamar Ning Fiyyah. Ia duduk bersantai bermain ponsel. Imaz duduk di sampingnya.

"Ning, maaf aku terlambat memberikan kado ulang tahun." Imaz menyodorkan kado kecil.

"Tidak masalah."

Ning Fiyyah menerimanya. Tangan sudah gatal ingin membuka kado. Perlahan ia menyobek bungkus kado. Sebuah bros kecil berbentuk kupu-kupu. Tersemat nama pada punggung kupu-kupu dengan tulisan 'Fiyyah'.

"Maaf hanya itu yang bisa saya berikan Ning." Imaz merendah.

"Ini kado yang paling indah yang pernah aku miliki dari seorang sahabat sepertimu." Kalimat Ning Fiyyah yang mendalam.

"Terima kasih Ning."

"Oh ya, "Ning Fiyyah mengganti topik pembicaraan, "kenapa akhir-akhir ini kau sering keluar malam?"

Mengingat akhir-akhir itu, Imaz bekerja setiap malamnya meskipun sering dipecat dan uang gajian tak sesuai harapan. Imaz tak menjawab apa-apa.

"Imaz...." tangan lembut Ning Fiyyah menggenggam tangannya, "Kalau kau ada masalah, cerita sama aku. Jangan kau pendam. Akhir-akhir ini, kau tampak cemas sendiri. Apa yang kau cemaskan?"

"Tidak, mungkin hanya kecapekan."

"Kalau begitu, mulai malam ini kau tidur saja disini. Kamarku juga menjadi kamarmu."

"Tidak perlu, Ning. Saya malah merepotkan Ning."

"Lagi-lagi kau merendah."

"Baiklah."

Imaz hanya pasrah menyetujui keputusannya.

Keluar kamar, ia masuk ke kamar Ar-rahim yang harus melewati dapur ndalem. Teman sekamar sudah bersiap-siap tidur. Ia mengambil bantal dari tatanan bantal juga selimut.

"Mau kemana?" Cika bertanya dengan tatapan sinis.

Dari kamar mandi, pintu sudah langsung ditutup. Teman lain yang hanya rebahan kali ini buru-buru bangun.

"Duduk!" Perintah Cika dengan tegas.

Cika dan Imaz duduk di tengah mereka yang bertatapan sinis. Imaz masih tak mengerti apa yang telah terjadi.

"Mau kemana?" Cika mengulangi pertanyaan.

"Aku diutus Ning Fiyyah tidur di kamarnya."

"Terus akhir-akhir ini kenapa kau sering keluar malam?" Pertanyaan yang sama dengan Ning Fiyyah dan tak bisa memberi alasan. Ia hanya tertunduk.

"Apa kau tidak malu menjadi buah bibir kamar lain? Sadar diri Imaz. Kita ini sama-sama menyantri. Patuh pada peraturan. Santri putri tidak boleh keluar. Jangan mentang-mentang kau menjadi khodam Ning Fiyyah kau berbuat semena-mena. Memangnya ini pesantren nenek moyang loe apa, hah?"

Cibiran Cika mematahkan hati Imaz. Teman yang lain bersitatap sinis memandang Imaz yang diam seribu bahasa.

"Kalau keamanan tahu soal ini, kita yang malu Imaz. Jangan bersikap egois. Kita disini sekamar, harus saling mengerti. Jika ada masalah cerita saja ke kamar sendiri. Jangan ke kamar lain. Mereka malah berpikir kita ini tidak memedulikanmu."

"Disini tidak seperti pesantren lain. Ini pesantren dengan garis keturunan darah biru. Apalagi sistem seperti kerajaan tidak ada CCTV tapi prajurit. Apalagi yang masuk prajurit hanya sedikit. Maka dari itu, pesantren ini banyak yang mengincar."

Finding My LoveWhere stories live. Discover now