44. Berjuang mati-matian

8 1 0
                                    

~Aku yang berjuang matian-matian mendapatkan hatinya justru orang lain yang pantas bersanding dengannya. Aku hanya tempat persinggahanmu berbagi komitmen namun ternyata sekedar momen~

                                             ***
Masih melanjutkan perjalanan cinta Arman dan Irma. Pulang sekolah, Arman sudah didapati orang tuanya yang sedang rebahan di ruang tamu beralaskan tikar. Rumahnya memang sangat sederhana. Syukurnya, tidak kontrakan ataupun kos-kosan. Rumah itu jerih payah orang tuanya dari penjualan gado-gadonya. Murahan. Tidak berlantai keramik. Hanya tanah yang masih subur. Tidak memiliki jendela karena uangnya tak cukup. Bahkan kamar mandi saja tidak ada atap dan pintunya. Untungnya saja, di desa yang ia tempati tak mengenal konten dewasa sebab mereka kurang update dengan yang namanya handphone.

Memasuki ruang tamu, Arman memberi salam. Orang tuanya langsung terbangun. Ia bersalaman dengan mereka.

"Bagaimana sekolahnya, nduk?" Ayahnya bertanya.

"Baik ayah. Tidak sesulit yang aku bayangkan. Insya Allah jika Arman belajar dengan sungguh-sungguh, pasti mendapatkan hasil yang memuaskan," jawab Arman dengan sepenuh hati. Padahal jika orang tuanya tau, setiap hari ia tersiksa batin melihat teman-temannya yang bisa makan di kantin. Me time saat hari libur. Yang ia lakukan di sekolah diam sendirian membaca buku. Hari libur malah disuruh membantu jualan gado-gado. Kalau bertemu dengan teman seangkatannya, pasti dipermalukan seantero kelas. Mau ditaruh mana mukanya? Tidak ada yang menerima kehadirannya. Selama ini teman curhatnya cuma buku.

Wajah gadis yang memesan gado-gado tadi tiba-tiba terlintas dalam bayangannya. Ia yang terus mengejar. Merasuki pikirannya. Siapa gerangan? Bahkan, ia tak bertanya siapa namanya. Alamatnya dimana.

"Kok melamun?" Ayah membuyarkan lamunannya seketika itu.

"Apa yang kau pikirkan?"

"Tidak ada yah."

Ayahnya tak mungkin salah penafsiran. Dari mukanya saja, ia sudah tau kalau Arman berbohong. Dia memang pendusta hati. Pintar sekali membohongi perasaannya. Tidak bagi ayahnya.

"I...iya, yah. Maaf. Tadi di kelas ada yang mau memesan gado-gado." Arman akhirnya berkata jujur.

"Siapa? Cowok apa cewek?"

"Cewek."

Kedua mata ayah berbinar-binar.

"Cantik tidak?" Pertanyaan ayah mulai ngelantur. Ibu langsung menyikut lengannya. Berani-beraninya bertanya seperti itu dihadapan istrinya sendiri.

"Iya, iya. Walau kau sudah beruban, cintaku tetap memutih. Suci nan abadi. Ceilehhh...."

"Begladus!" Jutek ibu. Arman hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka.

"Pesan berapa?"

"Satu katanya."

"Ya sudah besok antarkan satu bungkus untuk gadis itu. Kapan-kapan ajak juga dia kesini."

"Yah, mulai deh." Ibu berujar curiga.

Itu kenangan saat pertama kali Arman otaknya dipenuhi wajahnya. Meski ia tak menatap wajahnya secara mendalam, saat berhadapan dengannya, ia merasa ada sesuatu yang tersimpan di matanya. Apa mungkin dia menyimpan rasa dengannya?

Sampai ia merebahkan tubuhnya hendak tidur, mata sungguh tidak bisa diajak kompromi. Ia masih saja kepikiran wajahnya. Ulasan senyumnya itu tiada duanya. Sangat mempesona.

Kira-kira rumahnya dimana ya? Batin Arman

Semenjak ia mengenal wajah dan tatapan itu, keesokan harinya, entah hatinya merasa sangat bersemangat. Apalagi ayah sudah mempersiapkan satu bungkus gado-gado untuknya. Anehnya, bungkus itu berbeda dari yang lainnya. Yang lain membungkus dengan kertas minyak, gadis itu dibungkus dengan kertas kado. Arman sampai menepuk jidat. Bisa-bisanya dibungkus dengan kado. Memangnya dia ulang tahun?

Finding My LoveWhere stories live. Discover now