Yama dan Ikan-ikan dalam Akuarium

81 20 6
                                    

You know how sometimes you meet someone and everything is change.
Just like that?
Prince Eric, The Little Mermaid

Deru mesin bersuara, bau bahan bakar berupa bensin menyengat Indra penciuman, dan burung-burung terbang mengepakkan sayap dengan kawanannya. Mobil melaju, kami tumpangi hingga berhenti pada sebuah gedung bertingkat dengan kaca berlapis sehingga kami dapat tahu apa yang ada di dalamnya. Dari bagian puncak gedung terdapat papan nama dari gedungnya-SeaWorld. Kami sampai di Taman Wisata Bawah Laut. Tempat Kakak bekerja paruh waktu sebagai pembawa acara dari sirkus lumba-lumba.

Terlihat banyak orang-orang berlalu lalang, berseru pada manusia yang memakai kostum ikan hiu, pada poster-poster ikan di dinding, berfoto, dan berlari saking antusiasnya sampai di sini. Bukan hanya mereka, aku yang sudah lama tidak bertandang ke sini juga ingin berseru, mengajak Ayah untuk cepat-cepat membeli tiket. Sayang, kubilang Ayah berbeda maka akan lagi kusebut bahwa yang berbeda itu unik. Selepas kami turun dari mobil, sekonyong orang datang-merebut Ayah dariku, membawanya pergi masuk ke dalam area gedung, meninggalkan aku di luar dengan Eli-salah satu rekan Ayah yang bekerja di sini.

Sebenarnya, sebelum kami pindah ke Glorse, Ayah kerapkali keluar masuk rumah sakit. Ayah menemui orang-orang berjas putih yang kutahu mereka adalah dokter. Ayah pergi bersama Bunda dan meninggalkan aku dengan Kakak. Entah mereka membicarakan apa, yang pasti fosil manusia pernah tersebut kala tak sengaja mendekatkan telinga pada pintu ruang kerja Ayah. Tidak jelas, orang-orang dewasa itu membicarakan hal yang anak kecil tak mengerti. Jika saja aku lebih besar dari Kakak, mungkin akan tahu kebenarannya tanpa harus menguping. Tapi mereka juga terlalu pelit. Ayah bilang, ada banyak hal yang tidak harus Yela tahu.

Aku hanya berharap, mereka tak membuat Ayah sakit. Ada hal yang tak mau kuserahkan lagi. Ayah tidak boleh pergi.

"Mau bertemu Kakak," ujarku memecah keheningan di antara kami.

Eli tersenyum. "Kakakmu sedang ada di dalam, mau bertemu dengannya atau ikut bersamaku melihat orkestra?"

"Mau bertemu Kakak."

Eli tak lagi bertanya, dia membawaku masuk ke dalam.

Ketika langkah pertama dipijak pada ubin hitam, cahaya kebiruan yang bergerak-gerak terpantul pada dinding. Selepas masuk lebih dalam, barulah ruangan mulai gelap. Hawa dingin membuat bulu kuduk berdiri, tetapi suara bahagia dari orang-orang membuatku tahu bahwa aku sedang berada di tempat yang menyenangkan.

Aku melewati terowongan, dengan dinding bak akuarium kaca pada sisi kanan dan kiri melingkar-menjadi penutup atap, mengelilingi kami. Lantai yang terpijak sedari awal berupa ubin hitam, kini kaca transparan yang menampilkan hewan air berenang-renang. Awalnya aku tak sadar, entah memikirkan apa. Sampai ikan pari kecil melewat di bawah kaki, mataku ikut mengarah padanya ingin tahu ia akan berenang ke mana. Setelah diamati, nyatanya ia membawaku ke bagian paling menakjubkan di sini-akuarium terbesar dalam gedung.

Aku bergeming, fokus terpaku pada ikan pari yang berenang memutar di sana. Cahaya biru dari air di luar, seperti warna mata Ayah. Ikan-ikan yang berenang di sana mencari kehidupan juga kebebasan ... sama sepertiku.

Bukannya mengikuti Eli, aku malah mendekati kaca, menatap dengan kagum. Kupikir airnya akan kumuh seperti yang nampak dalam film aksi. Kupikir ikannya banyak yang mengambang terbalik karena pestisida yang dibuang oleh manusia ke air. Tapi bukan. Aku tidak melihat itu di sini. Airnya biru jernih, ikan-ikan, kura-kura, para penyu, bahkan lumba-lumba dan hiu ... anjing laut, ikan berkawan, mereka berenang-tidak, mereka seperti terbang. Memutar seolah mengelilingi pilar yang menjulang sampai ke dasar, membentuk kawanan di sisi kanan dan kiri dinding sampai mengumpat di balik kerang-kerang dasar air.

Sonitum MarisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang