Pasal 1 - Introduction

145 18 4
                                    

"Saya sebagai pengacara terdakwa merasa keberatan dengan tuntutan Jaksa. Klien saya memang mencuri buah cokelat milik tetangga, tetapi dengan tuntutan penjara lima tahun dan denda sebesar dua juta rupiah terlalu besar. Dilihat pula bahwa terdakwa sudah lanjut usia serta sudah mengakui tindakannya dari awal. Selain itu, menurut pasal 362 KUHP denda paling banyak hanya enam puluh rupiah. Bukankah dari hal itu terdakwa bisa mendapat keringanan hukuman?"

Tiap persidangan, perempuan itu selalu nervous walaupun itu hal yang sudah sering ia lakukan sejak dua tahun lalu. Namun, seiring berjalannya waktu ia dapat mengolah rasa nervous itu hingga orang-orang tidak bisa menyadarinya.

Mata cokelat kelamnya menatap tajam audiens, jaksa penuntut umum, dan hakim utama secara bergantian. Seperti elang yang hendak menerkam mangsanya sekali hentakan. Ia ingin menunjukkan bahwa kliennya berhak mendapat keringanan dan kebebasan, tapi sayang, hakim yang menentukan di atas sana sudah berpihak pada pemilik pohon cokelat itu karena suapan. Oleh karenanya, saat ini ia hanya bisa berdoa dan meminta keajaiban.

Birainya aktif memberi pembelaan pada klien, yang terkadang dapat membuat jaksa terdiam karena kelincahannya. Tatapan elang itu juga akan berubah menjadi lunak tatkala memandang sosok nenek yang sepanjang persidangan hanya menunduk. Ia mengusap lembut punggung tangan yang dipenuhi garis-garis keriput karena dimakan usia. Sesekali membisikkan kata semangat padanya.

Cih, dalam hati ia merendahkan sang hakim. Sumpah serapah dirapalkannya untuk lelaki tua nan buncit karena uang haram yang dimakannya. Padahal, kasus ini sudah viral di seluruh media sosial serta diliput berbagai portal berita dan masyarakat menentang tuntutan jaksa karena terlalu berlebihan. Seperti saat sidang pembacaan pledoi kali ini. Lensa kamera terus mengeluarkan sinar menyilaukan, memotret dan merekam jalannya sidang. Ia sebenarnya benci hal tersebut, tapi dengan disiarkannya sidang ini di depan umum maka dapat meminimalisir kecurangan keputusan yang akan diambil oleh hakim.

"Baiklah demikian pembelaan dari pengacara terdakwa. Kepada jaksa, apakah akan mengajukan Replik atas pembelaan dari pihak terdakwa?"

Sialnya, pihak dari jaksa tetap berpegang teguh pada tuntutannya. Tidak ada belas kasihan dan welas asih terhadap terdakwa. Perempuan yang sedari tadi membela klien mendesah frustasi dan terus mengucapkan kata maaf pada nenek di sebelahnya. Sidang terakhir nanti akan menjadi satu-satunya kesempatan untuk memenangkan persidangan sehingga kliennya bisa mendapat keringanan.

"Baiklah, sidang hari ini dinyatakan cukup dan selanjutnya memberikan kesempatan Majelis Hakim bermusyawarah mengambil keputusan, dan sidang ini ditunda satu minggu kedepan pada hari Rabu, 27 Desember 2020 dengan agenda pembacaan putusan. Kepada Jaksa Penuntut Umum, pengacara, dan terdakwa diharapkan hadir dalam persidangan tanpa dipanggil kembali, maka dengan demikian sidang hari ini dinyatakan ditunda dan ditutup."

Diketuknya palu sebanyak tiga kali, menandakan persidangan hari itu benar-benar selesai. Pintu keluar didesaki oleh orang-orang. Sedang perempuan itu menunggu antrean, ia menyadarkan punggung pada kursi dan memejamkan mata. Ia benci pada hukum yang berlaku di negaranya dan tentu saja, oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan jabatannya untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah.

***

Perempuan dengan kemeja putih yang berbalut blazer cokelat muda turun dari mobilnya tepat di depan gedung bertingkat tiga. Tulisan 'Firma Hukum Hadinoto dan Rekan' pada pintu masuk gedung menyambutnya. Ia mendongak, menatap lekat-lekat tulisan tersebut. Hadinoto adalah nama dari sang ayah. Yap, ia bekerja di firma hukum milik ayahnya karena keinginannya sendiri, murni tanpa paksaan.

The Sea in Your EarsWhere stories live. Discover now