EU;14

535 43 0
                                    

Bahkan hingga berhari-hari setelahnya, Nana tidak berubah. Ia tetap ceria seperti biasanya menyapa Arka bagai Arka tidak pernah menyakitinya barang satu kali. Arka kesal, ia merasa bersalah tapi Nana bahkan tidak terpengaruh.

Lalu sekarang Arka harus apa?

Pagi hari di hari senin Nana datang kerumahnya, meminta Arka mengantarnya ke sekolah seperti hari lalu. Kalau Arka tau Nana akan datang Arka lebih baik berangkat sejak subuh tadi.

"Kak mau ya,ayolah aku ujian nih" Nana sebentar lagi akan lulus dan Arka sebentar lagi akan mengurus skripsi, mereka sama-sama stress dan Nana datang menambah stress Arka saja rasanya.

"Gue bukan supir lo, kalo gak ada yang bisa nganter kendaraan umum banyak. Gak usah nyusahin gue bisa!?" Arka menjawab ketus, kepalanya pun dari kemarin sudah pusing memikirkan banyaknya materi yang harus ia kuasai.

"Tapi aku__

"Jangan bikin gue tambah pusing, harus berapa kali gue jelasin kalau gue gak bakalan suka sama lo?" Nana terdiam, menatap Arka dengan pandangan sedih.

Hebat lo ka! bikin anak orang sedih di depan rumahnya sendiri

Tapi apa lagi yang bisa Arka lakukan?kalau dengan cara halus Nana tidak mengerti, Arka masih punya banyak cara lain. Sampai Nana paham.

"gue gak suka cewek maksa, manja, banyak mau dan sok akrab kayak lo!" tidak menunggu Nana menjawab, Arka melajukan motornya dengan suara bising yang keras memperlihatkan betapa pria itu tengah kesal. Dan Nana dibuat hampir menangis.

Iya, baru hampir menangis. Nana bisa memaklumi. Mungkin saja Arka juga sedang lelah-lelahnya kuliah. Karna sama, Nana juga capek dengan ujian ini. Tapi demi lulus dan kuliah di tempat yang sama dengan Arka. Apapun tidak akan masalah bagi Nana

****

"Nana apa kabar?" Arka mengangkat sebelah alisnya atas pertanyaan maha tidak penting dari Araminta Ardhani istri dari Kaliandra Mahardika dosen terkeren menurut seluruh umat kampus.

"mana gue tau, cek aja sendiri dirumahnya" Ara berdecak, susah memang kalau bertanya pada pohon cabe.

"Dia kan tetangga lo, masa lo gak tau."

"Emak gue mungkin tau, tanya beliau aja" Arka menjawab enteng, bahkan disaat mereka sudah berada pada semester beratnya dunia perkuliahan, Arka masih saja menyebalkan, Ara seperti ingin menampar Arka bolak balik sampai mampus.

"Masa lo gak suka sih sama Nana, dia kan cantik Arka" kantin tidak terlalu ramai, Arka kesini niatnya ingin mendinginkan kepala sebentar dengan bermain game. Tapi datangnya Ara malah mengacau. Entah kemana Nadia yang biasanya selalu menempel pada Ara

"Terus kalau dia cantik gue harus suka sama dia? semua orang cantik di bumi ini harus gue suka sama mereka semua?" Ara menendang kaki Arka di bawah meja

"Ya gak lah bego, apa jangan-jangan lo gay ya?" Arka hampir tersedak, dosa tidak ya kalau ia menghantam kepala istri orang?

"Lo udah pernah rasain yang namanya di colok matanya gak?" Ara terpingkal, sejak setelah Arka berhenti pacaran beberapa tahun lalu, baru Nana saja yang berani mendekati Arka. Yang lain hanya bisa mengangumi dari jauh karna Arka memang sudah memasang tameng tak kasat matanya pada siapapun membuat orang-orang enggan mendekat.

Arka itu paket komplit kalau kata Nadia. Tampan, kaya, selalu bisa diandalkan walau mulutnya pedas dan hobi ngegas.

"Lo gak mau coba sama nana?" Arka mendengus, memangnya di mata Ara  se-ngenes apa dirinya ini?

"Gue gak pernah minat coba-coba dalam menjalani hubungan Ra. Biarpun pengalaman gue gak banyak bukan berarti gue gak tau yang namanya serius" Ara terdiam, takjub dengan kalimat Arka barusan. Dari dulu Ara memang sudah tau kalau Arka itu hampir sama dengan Andra

Berfikiran luas dan memandang segala hal dari berbagai sudut. Itupun menjadi salah satu faktor mengapa banyak yang menyukai Arka walau sarkasme pria itu memang menguji kesabaran

"Nana pasti mau kok diajak serius sama lo" Arka melirik sebal pada Ara, Nana mungkin mau tapi Arka yang tidak mau.

"Mending lo diem!"

***

Hingga sore hari Arka masih berada di kampus, sehabis mendekam diri di perpustakaan melengkapi materi untuk ujian besok. Ponsel Arka yang berada dalam saku jaketnya berdering menampilkan nama "Banana" di layar. Jangan berfikir bahwa nama itu Arka yang berikan karna sebelumnya Arka menamai kontak Nana dengan "tetangga" dan Ara yang melihat itu dengan lancang mengubahnya menjadi "Banana" kenapa tidak sekalian saja "bernana?"

"Halo?" dengan malas Arka menjawab panggilan Nana, yang tumben sekali menelponnya. Biasanya ia hanya mengirim pesan. Dan kenapa juga Arka harus peduli?

Kok kamu belum pulang udah sore loh?

Arka terdiam, mamanya saja tidak pernah bertanya kenapa jika ia pulang terlambat. Kenapa Nana yang tetangganya saja sampai harus repot memikirkan itu? Oh iya, Arka lupa, Nana kan suka padanya.

"Emang kenapa?"

Kamu lagi dimana, masih di kampus?

Arka hanya berdehem sebagai jawaban, perhatian-perhatian seperti ini sudah lama Arka tidak rasakan. Tapi ia tidak se-lemah itu untuk luluh hanya karna Nana mencari keberadaannya begini.

kok masih di kampus, kan udah sore kamu ngapain aja?

Menghela nafas sabar, Arka menyadari bahwa Nana sudah seperti seorang pacar yang sedang mengkhawatirkan pacarnya yang belum pulang dan seharian tidak ada kabar.

"bukan urusan lo" dan Arka tidak ada waktu untuk ber manis-manis ria atau sekedar berterima kasih pada Nana yang sudah repot-repot menghubunginya di sela-sela waktu senggang. Karna Arka tau Nana juga harus banyak belajar untuk mempersiapkan ujian kelulusan nanti

Kamu marah ya sama aku?

Suara Nana memelan, dan Arka amat tidak suka saat ia tahu bahwa Nana selalu sedih karenanya. Bukan cuma Nana saja, Ara atau Nadia pun selalu mampu membuat Arka tidak tega jika mereka sedih. Tapi Nana lain, ia adalah orang asing yang menerobos masuk dalam hidupnya. Arka berusaha untuk mengabaikan sikap Nana termasuk juga sedihnya

"Iya gue marah" lalu Arka mematikan sambungan telepon secara sepihak, memasukan ponselnya kembali ke saku jaket dan melanjutkan langkah.






YOU-NOY-UH (EUNOIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang