Prolog

66 8 0
                                    

Piringan matahari telah dilenyapkan oleh cakrawala, pertanda bahwa senja akan segera tiba. Telah tampak warna jingga yang terukir di langit memberikan kesan melankolis bagi siapapun yang melihatnya. Aku menghembuskan nafas panjang, itu artinya aku akan terlambat jika tidak segera datang ke lokasi yang telah di sharelock oleh kekasihku. 

“Menyebalkan,” rutukku dalam hati. 

Aku tidak sebal dengannya, aku berkata jujur. Aku sebal terhadap diriku sendiri karena lupa memesan taksi ketika turun dari bandara 10 menit yang lalu. Sekarang aku harus menunggu hingga taksi datang dan mengantarkan barang-barangku ke hotel yang telah dipesan oleh kekasihku.

Aku berjalan kesana kemari sambil mengecek jarum jam yang terus saja berlalu. Tepat ketika taksi yang ku pesan menelponku, aku berjalan tergopoh-gopoh kemudian menyerahkan alamat dan tip untuk mengantarkan semua barang-barang yang ku bawa.

Aku langsung melesat ke tempat tujuan utama dengan berjalan cepat. Ya, aku tidak perlu berlari karena lokasinya terlampau dekat. Hanya sekitar 500 meter dari tempatku berdiri tadi. Tapi sepertinya aku memilih pilihan bodoh. Karena ternyata meski aku tak berlari, aku cukup kelelahan.

Ketika telah terlihat hamparan pasir nan luas, aku berlari menuju bibir pantai. Lelah yang aku rasakan seketika terkikis oleh rasa takjubku yang tak berujung, sangat cantik. 

“Oh God, it’s the reason why he asks me to come here. The Woodbine Beach’s such wonderful paradise,” ucapku lirih. 

Ada begitu banyak orang yang sedang menghabiskan waktu di tepian pantai, mungkin mereka sedang menyaksikan pemandangan spektakuler, bintang paling besar tenggelam, dilenyapkan oleh lautan yang membentang.

Aku masih mengangumi apa yang ditawarkan dihadapanku sambil menetralkan nafas, menarik hembuskannya dan menikmati semilir angin yang mengusak rambutku ke segala arah. Aku tersenyum. Entah aku tersenyum untuk alasan apa. Hanya saja seolah aku merasakan kebabasan yang selama ini aku rindukan. Aku merasa lebih hidup. 

Aku tidak peduli meski seandainya ada banyak orang merasa terganggu dengan kehadiranku Kali ini aku memejamkan mataku dengan posisi yang sama, masih berdiri di tengah pantai. Ku tajamkan indera telinga dan hidungku agar bisa mengakses suara lembut dan aroma yang ditawarkan oleh alam. 

Tengah asyik melihat proyeksi rentetan memori yang hadir, aku dikejutkan dengan suara yang memanggil namaku dari arah yang berlawanan, tampak jauh tapi aku tetap bisa mengenalinya. 

‘Astaga, apa yang aku lakukan,’ rutukku dalam hati. 

Aku berlarian kecil menghampiri pria yang sedang berjalan ke arahku. Aku sedikit merasa bersalah hampir melupakan tujuan awalku datang ke tempat ini. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, “Maaf ya?, apa aku membuatmu menunggu lama?.” Tanyaku tak enak.

“Lumayan. Aku sempat mengira kamu tersesat,” balasnya dengan nada sedikit khawatir. “Tapi ternyata tidak.” Dia terkekeh.

“Yuk kesana.” Dia menarik tanganku mengajak ke tempat yang telah dia persiapkan sebelumnya. 

Aku mengekor di belakang punggungnya. Aku menyadari bahwa dia bertambah tinggi beberapa centimeter dariku, “he’s giant omg,” ucapku lirih yang tanpa sengaja terdengar olehnya.

“Kamu mengucapkan sesuatu?.” Tanyanya tanpa menoleh ke arahku.

“Ga kok, cuma kaget aja ternyata kamu makin tinggi ya. Aku aja sekarang cuma sebahu kamu. Padahal 3 tahun yang lalu, aku masih se-telinga kamu tuh.” Jelasku.

Tak ada tanggapan darinya. Dia hanya terkekeh.

Seperkian detik berlalu kita berjalan dalam keheningan hingga kita mencapai tempat yang kita tuju. Sebuah bangunan tidak terlalu besar berbentuk kubus dengan dinding kaca. Tampak hiasan patung-patung dewa yunani yang di letakkan di setiap sudutnya memberikan kesan kuno tapi tetap modern. 

Aku melihat sebuah ukiran kayu yang berbentuk seperti simbol infinity yang tergantung di langit-langit atap. Mulutku ternganga melihat semua keunikan yang ditawarkan oleh kafe mini ini. 

“Apa nama kafe ini?,” Tanyaku pada kekasihku yang telah lebih dulu duduk di kursi yang telah dipesannya untuk kita berdua. 

“Aku tidak tau,” jawabnya polos yang kemudian terkekeh melihat reaksiku yang mengernyit heran. 

Di Bawah Langit TorontoWhere stories live. Discover now