01. Jingga dan Keresahannya

600 126 44
                                    

Tak ada yang lebih menenangkan dari segelas kopi sachetan yang diseduh ketika hujan. Langit melepas hoodie hitamnya setelah masuk ke kamar, ia baru saja pulang dari sekolah, sigh, salah memang menjadi panitia sukarela pensi, apalagi masuk ke bagian dekor. Salah juga kenapa Langit mau saja disuruh Jingga ikut, padahal tahun kemarin ia memilih bergumul di bawah selimut ketika teman-teman lain sibuk mengurus persiapan acara tahunan itu.


Gelas berisi kopi ia letakkan di atas meja belajar, kemudian mengusak rambutnya yang sedikit basah dijatuhi air langit.

“Ta?” Panggilnya pelan, Langit tersenyum melihat Jingga merem melek, mencoba sekuat tenaga untuk tetap terjaga, mungkin sang gadis sudah menunggu sejak dua jam yang lalu, Langit sendiri tak tau jika rapat kali ini memakan waktu lebih lama. Wajar, jam menunjukkan pukul sepuluh, Jingga harusnya sudah bersenang-senang di alam mimpinya.

Jingga mengerjapkan mata beberapa kali, mengumpulkan separuh nyawanya yang terbang entah kemana, dirasa pandangannya sudah kembali normal, ia tersenyum lebar. “Udah pulang?”

“Ya udah, emang cowok ganteng ini siapa kalau bukan Sabda Langit?”

Lagi-lagi senyuman tercipta di bibir Jingga. Ia beranjak, mendekat ke arah anak adam yang masih sibuk membereskan barang bawaan.

Nasib jadi anak dekor, kalau bagiannya belum selesai, mau tak mau harus lembur, apalagi acaranya tinggal tiga hari lagi. Langit sudah capek badan, capek hati juga punya ketua panitia yang hobi marah-marah. Memang nasib jelek, daftar bagian keamanan malah masuknya ke dekorasi.

Kayaknya yang interview dia punya dendam pribadi.

“Iya, yang ganteng Sabda Langit doang emang.”

Langit terkekeh ketika si gadis meraih kepalanya, diusap lembut tetes air yang meluncur bebas dari rambut di pipinya. Tangan Jingga hangat, Langit suka. Sampai indra penciuman sang lelaki menangkap aroma tak asing di sekitarnya.

“Bau rendang?”

“Iya.” Jingga memberi jarak, merengut sebal sembari mengendus rambutnya sendiri, memastikan lagi. “Udah keramas tiga kali padahal. Masih nempel aja baunya.”

Langit gak kaget, udah biasa. Ia menghela napas panjang sebelum duduk di ujung kasur, menatap keluar jendela. Hatinya sakit tiap kali Jingga pulang dengan keadaan berantakan, ia benci setiap Jingga bilang baik-baik saja, karena Langit tahu pasti, gadisnya tersiksa.

“Dih jahat banget, mending dimakan lah ngapain pake acara siram-siram. Dikata kamu taneman?” Tanyanya keheranan, manusia belahan mana yang tega membuang makanan di atas kepala gadis sebaik Kinara Mentari Jingga? Ya, ada sih. Orang aneh, otaknya sekecil biji semangka kali, ya?

“Gatau juga, mana tadi masih utuh gitu satu wadah. Sayang.”

“Tapi lebih sayang kamu gak, sih? Sayang banget orang cantik begini hampir tiap hari kena siram.”

“Asal gak dipitakin aja, sih.”

“Yeuuuuuu!”

Langit sudah kehabisan cara untuk membujuk Jingga pindah ke sekolahnya. Masalah bullying masih sering terjadi di kehidupan nyata, di sekolah gadis disampingnya sebagai contoh, karena masalah sepele saja jadi bulan-bulanan perundungan. Heran, memangnya seberpengaruh apa keluarga si pembully sampai sekolah tak mengambil tindakan apapun untuk menghentikannya. Kalau diingat lagi, Langit rasanya ingin menonjok muka songong cewek tinggi yang ia lihat sedang menyiram rambut Jingga dengan kuah soto tempo hari.

Keep You SafeWhere stories live. Discover now