2

30 3 0
                                    

Suara mesin motor terdengar dari luar. Ibu pulang, tepat sebelum adzan maghrib berkumandang. Akhtar mengambil kruknya, berjalan perlahan menyambut ibunya yang kelelahan.

"Baru pulang, Bu?"

Benar, muka Ibu sarat akan lelah.

"Alhamdulillah, kios rame banget tadi. Abangmu udah pulang belum? Zanna?"

"Bang Azkar kayanya lagi lembur. Zanna daritadi aku telponin keputus terus Bu, sepertinya lagi ada perlu sama temen-temennya. Ibu, makan dulu Bu, aku tadi masak yang ikan di kulkas, sama sayur bening."

Akhtar sebenarnya ingin berkeluh kesah tentang sakitnya saat ini. Namun, ia tak tega pada Ibunya yang terlihat semakin tua itu.

"Ahh, terima kasih, Nak. Ayo, maghriban dulu."

Lalu Akhtar kembali ke kamarnya untuk melaksanakan solat Maghrib, dilanjutkan dengan mengerjakan tugas.

---

"KELUYURAN TERUS YA KAMU?! NGAPAIN PULANG? MASIH INGET RUMAH?"

Suara Ibu yang sedang marah terdengar dari kamar Akhtar. Zanna pulang sepertinya, di waktu yang menunjukkan pukul 8 malam. Sangat terlambat untuk ukuran anak perempuan.

Akhtar mendecak, menyesali dirinya yang tidak dapat melakukan perannya sebagai kakak. Ia sudah menghubungi Zanna sedari tadi, namun tidak ada balasan seperti tadi sore. Ia juga terlalu sibuk dengan tugas kimia dan matematikanya yang harus dikumpulkan besok di jam pertama, sehingga cukup sibuk dirinya untuk memegang ponsel. Belum lagi, rasa vertigo dan maghnya yang masih belum sepenuhnya hilang.

Akhtar berjalan keluar, masih dengan bantuan kruk, karena jujur, kakinya belum sanggup untuk berjalan tanpa bantuannya.

"Aku ada urusan bu, dan aku udah gede. Jangan atur-atur aku."

"URUSAN APA HINGGA SELARUT INI?KAMU MACAM-MACAM, HAH? SAMA COWOK YANG MANA LAGI SEKARANG?"

Sungguh, perkataan Ibu tidak hanya menyakiti Zanna, tapi Akhtar juga.

"Bu.." ucap Akhtar dari punggung Ibunya, bermaksud untuk menenangkan.

"Masuk aja Zan, udah makan belum? Mau abang masakin nasi goreng?"

Zanna memutar bola matanya, memandang Akhtar dengan ekspresi malas. "Gausah sok peduli lo."

"ZANNA!"

Ibu menyentak Zanna yang sudah kelewatan kali ini.

"Belain aja dia terus. Akhtar itu sok baik bu. Ngeselin."

"Siapa yang ngajarin kurang ajar ke kakaknya kaya gitu?" murka Ibu sambil mengurut keningnya. "Besok ngga usah pake motor Akhtar, minta jemput Azkar aja. Ngga usah kemana mana! Langsung pulang! Malu dilihat tetangga, anak gadis pulangnya malem malem" sambungnya.

Akhtar menghela nafasnya. Seharusnya ia tidak manja hari ini, supaya Azkar bisa mengantar Zanna hari ini. Atau seharusnya kakinya tidak sakit, supaya dirinya bisa mengantar-jemput Zanna seperti biasa. Harusnya dia bisa lebih berguna, setidaknya untuk keluarganya.

"Maafin kakak, Zan. Benar kata Ibu, besok Bang Azkar yang anter kamu."

"Terus lo mau naik motor sendiri dengan kondisi kaki kaya gitu?"

Zanna peduli sama kakaknya. Zanna khawatirin aku.

Akhtar tersenyum, "Gampang, kakak bisa naik kendaraan umum besok."

"Terserahlah," ujar Zanna sembari melempar kunci motor ke arah Akhtar. Akhtar berhasil menangkapnya meskipun sedikit terkejut.

Zanna pergi ke kamarnya. Ibu juga, mengambil koyo di lemari obat dan mengoleskan balsem di tubuhnya. Cukup membuat Akhtar khawatir, ibunya tampak sangat lelah.

"Kakak balik aja ke kamar," ujar Ibu.

Sebelum melaksanakan perintahnya, Akhtar mengucapkan, "Ibu mau Akhtar pijitin?"

"Nggak. Udah kamu masuk aja! Atau bantuin Zanna kerjain tugasnya. Anak itu kalau enggak dipantau pasti gak bakal belajar, hape hapean terus. Ujung-ujungnya nilainya anjlok."

Akhtar menurut saja, tidak bermaksud menanggapi omelan Ibunya. Ia mengetuk pintu kamar Zanna yang ada di dekat dapur.

"Zanna? Kakak boleh masuk?"

"Gak dikunci."

Zanna sudah melepas sebagian atribut seragamnya.

"Tugas ekonomi minggu lalu udah dikerjain belum? Sama kalau gak salah besok jadwal kamu fisika ya? Ada tugas ngga?"

Akhtar memang begitu. Sangat menyayangi Zanna, hingga hafal jadwal adiknya itu. Bahkan, tugas pun ia pantau. Ia berpesan pada Zanna untuk selalu menuliskan apa saja tugasnya di sebuah notes, supaya tidak lupa. Untungnya, Zanna mau melakukannya.

"Pake nanya. Belom lah. Baru pulang juga."

"Habis mandi kakak bantu kerjain."

"Males."

"Zanna.."

"..jangan kecewain Ibu," imbuh Akhtar.

Zanna diam. Air matanya tak dapat lagi ditahan. Diberi nasihat seperti itu membuat Zanna menjadi semakin bersalah karena tidak pernah membanggakan orang tuanya. Ditambah, emosinya sedang tidak stabil sekarang.

"Zan, ada masalah apa? Sini, cerita ke kakak.."

"Ngga ada masalah.."

"Bener?"

"Hm.."

Mungkin Zanna butuh waktu sendiri saat ini. "Yaudah, kakak keluar dulu ya. Kalo laper bilang aja, atau kalo mau tadi masih ada ikan sama nasi di dapur, sayurnya udah habis hehe.."

Kemudian hari masih berlanjut. Akhtar masih sibuk dengan tugas-tugasnya, hingga pada pukul 11 malam, dimana hanya Akhtar yang masih terjaga, Azkar sampai di rumah.

"Lembur, bang?"

"Eh, Akhtar. Iya, kerjaan di kantor lagi hectic banget. Ada sedikit masalah tadi. Maaf abanh jadi gak bisa jemput kamu."

"Ngga papa, bang. Tapi besok abang harus anterin Zanna, jemput sekalian juga."

"Iya, bisa kalo itu. Tadi udah kelar urusannya."

"Syukurlah."

Azkar sudah masuk ke dalam setelah memarkirkan motornya. Akhtar mengunci pintu ruang tamunya. Sudah malam, waktunya beristirahat.

Akhtar masuk ke kamar Zanna sekali lagi. Mengecek tugasnya. Belum selesai, tapi setidaknya udah dikerjain 40%.

Menarik kursi dengan berhati-hati agar tidak menimbulkan suara yang mengganggu, Akhtar mulai menulis di kertas sisa soal yang belum Zanna kerjakan. Sengaja, agar Zanna tetap ada usaha untuk menyalin, bukan mengumpulkan apa yang Akhtar tulis. Entah gadis kecil itu paham atau tidak, Akhtar sudah memberikan keterangan sejelas-jelasnya.

Hingga tak terasa sudah pukul 1 dini hari. Akhtar sangat lelah. Maka, saatnya mengistirahatkan tubuh serta pikirannya sekarang.

Selamat malam.
---
©neptune na

EnfermoWhere stories live. Discover now