Fahri dan Amara 6

2.2K 174 13
                                    

Fahri pulang dari masjid dengan membawa beberapa orang pengurus masjid. Fahri mengajak mereka yang sedang melaksanakan puasa sunnah untuk berbuka puasa di rumah. Fahri telah memesan makanan untuk berbuka kepada Bunda Alin. Kebetulan Bunda Alin memang memiliki usaha catering.

Fahri mempersilakan Pak Arif, Ustad Rabbani dan Iwan untuk masuk. Di ruang makan terlihat Alin dan bundanya sedang menata menu di meja makan. Sementara Amara yang baru keluar dari kamar dengan pakaian tidur selutut, berjalan santai menuju ruang makan.

Setelah mempersilakan tamunya duduk di meja makan, Fahri langsung menarik Amara menuju kamar. Wajah Fahri terlihat merah, entah karena apa. Amara menatap Fahri dengan bingung.
“Sebelum ke masjid tadi, aku sudah bilang kalau mau mengajak bapak-bapak buka puasa di rumah.” Fahri berucap setelah mereka berada dalam kamar.
“Terus apa masalahnya? Kan bapak-bapaknya sudah di sini.”
“Pakaian kamu masalahnya. Meski di dalam rumah, tetapi, jika ada laki-laki yang bukan mahrom, kamu tetap harus menutup aurat.”
“Ya, Tuhan, ribet amat.”
“Aku nggak mau, ya, masuk neraka gara-gara kamu.”
“Aku janji nggak akan ngajak-ngajak kamu.”
“Nggak bisa gitu, suami itu bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya. Jika istri dan anak-anaknya berbuat dosa, maka suami akan ikut berdosa. Pertanggung jawaban aku ke kamu itu dunia akhirat.” Fahri membuka lemari Amara dan menelisik pakaian Amara yang tergantung di hanger. Entah mengapa kalimat terakhir Fahri itu membuat pipi Amara terasa panas.
“Pakai ini.” Fahri memberikan rok dengan setelan blus dan juga jilbab. Amara menerimanya dengan malas.
“Aku tunggu di meja makan.” Fahri berkata tegas lalu segera ke luar dari kamar. Amara mencibir. Ternyata selain banyak kejutan, laki-laki itu juga suka mengatur.

Alin dan bundanya pamit begitu Fahri telah kembali ke ruang makan. Fahri mengucapkan terima kasih kepada ibu dan anak tersebut.
“Ayo, Pak, silakan dinikmati. Tadi di masjid cuma minum air mineral. Sekarang pasti sudah sudah pada lapar.” Fahri mempersilakan bapak-bapak untuk makan.
“Eh, Nak Amara belum bergabung. Kita tunggu Nak Amara dulu, biar makan sama-sama.” Pak Arif yang merupakan teman akrab Pak Aryo memberikan saran.
“Nah, itu yang ditunggu sudah datang.” Fahri tersenyum lebar melihat Amara keluar dengan pakain yang sudah tertutup. Fahri menarik kursi di sampingnya.
“Kayak gini kan cantik.” Fahri mengusap puncak kepala Amara yang sudah tertutup jilbab.
“Duh, Nak Fahri romantis banget, jadi ingat masa muda.” Pak Arif menggoda Fahri seraya tertawa. Ustad Rabbani dan Iwan ikut tertawa mendengar godaan Pak Arif. Sementara Amara hanya menunduk menyembunyikan rona di pipinya.
“Kan memang harus begitu, ya, Pak, biar pernikahannya langgeng sampai kakek nenek.”
“Aamiin.” Pak Arif, Ustad Robbani dan Iwan mengaminkan serentak.
“Ayo, Pak. Kita nikmati.” Fahri mempersilakan Ustad Robbani mengambil nasi terlebih dahulu.
Mereka lalu makan tanpa banyak bicara. Semuanya terlihat sangat menikmati masakan Alin dan bundanya.

“Alhamdulillah, masakannya enak, Nak Fahri.” Pak Arif mengusap mulutnya dengan tisu.
“Iya, Pak. Alhamdulillah. Alin dan bundanya memang sangat pintar dalam urusan masak memasak.”
“Beruntung nanti laki-laki yang bisa mendapatkan Nak Alin.” Ustad Robbani menimpali.
“Iya, Ustad. Wanita sholeha, lembut, dan berakhlak mulia.” Fahri berucap apa adanya. Ketiga laki-laki di hadapan Fahri dan Amara langsung mengangguk setuju.
Amara bangkit dengan perasaan membara. Tanpa permisi, perempuan 21 tahun itu melangkah tergesa menuju kamarnya. Dan sedetik kemudian, terdengar bunyi pintu berdentam. Fahri dan ketiga orang tamunya saling berpandangan.

“Sepertinya Amara cemburu. Nak Fahri juga nih, di dekat istri nggak boleh memuji-muji perempuan lain.” Pak Arif mengingatkan. Fahri tersenyum.
“Saya hanya ingin melihat perasaannya kepada saya, Pak.”
“Oh, alah. Anak-anak muda kadang memang seaneh ini.” Pak Arif geleng-geleng kepala mendengar ucapan Fahri.

“Sudah sana bujuk. Kami pamit dulu. Sampai ketemu isya nanti.” Ustaz Robbani bangkit diikuti oleh Paka Arif dan Iwan.
“Ya, Ustaz. Terima kasih sudah memenuhi undangan saya.” Fahri ikut bangkit dan mengantar ketiga tamunya ke pintu depan.
Setelah ketiga tamunya pulang, Fahri bergegas menuju kamar Amara biasanya tidur. Semenjak menikah dua minggu lalu, istrinya itu masih suka main kucing-kucingan dengan Fahri. Jika Fahri berada di kamar pengantin mereka, maka Amara akan  tidur di kamar tamu. Dan seperti biasa, malamnya Fahri akan ikut pindah dan tidur di samping Amara. Fahri sebenarnya merasa heran, apa Amara tidak capek seperti itu.

Sampai di kamar, Fahri melihat Amara sudah berbaring di atas kasur. Fahri duduk di pinggir tempat tidur.
“Hai, habis makan kok langsung tidur?” Fahri menjangkau kepala Amara dan mengusapnya lembut. Tetapi, tangan Fahri ditepis dengan kasar. Fahri tersenyum.

“Sama suami nggak boleh begitu. Dosa.”
Tiba-tiba Amara bangun dan duduk di hadapan Fahri. Mata indahnya sudah basah oleh air mata.
“Kamu tahunya cuma dosa istri ama suami, tapi, nggak tahu dosa suami ama istri.” Suara parau Amara membuat Fahri sedikit tersentak. Apalagi melihat kilatan amarah di mata istrinya itu.

“Suamimu ini dosa apa sama istrinya?” Fahri mencoba mengajak Amara bercanda.
“Sudah aku bilang dari awal, aku memang bukan wanita sholeha, bukan wanita berakhlak mulia. Tetapi, mengapa kamu masih mau menikahi aku. Mengapa kamu nggak pilih Alin aja sebagai istri kamu.”
“Dan aku juga sudah bilang kalau aku akan membuat kamu menjadi wanita seperti itu. Eh, jangan-jangan kamu cemburu, ya, sama Alin?”
Fahri menatap Amara lekat. Wajah Amara yang basah langsung memerah.
“Siapa yang cemburu?” Amara menghapus air matanya dengan kasar.
“Siapa tahu kamu cemburu sama Alin. Aku kan senang, itu tandanya kamu sudah mulai sayang sama aku.”
“Nggak lah. Ngasal aja.” Bibir Amara mencibir. Fahri menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Melihat Amara seperti itu benar-benar membuat imannya goyah.
“Sudah, ah, aku mau tidur.” Amara kembali membaringkan tubuhnya.
“Bentar lagi azan isya, shalat dulu, baru tidur.”
Tidak ada jawaban dari Amara. Fahri bangkit melangkah menuju pintu. Mungkin lebih baik ia langsung ke masjid biar pikiranya tidak semakin berkelana.

Sepeninggal Fahri, Amara memutar tubuhnya dan berbaring dalam posisi telentang. Ia tidak tahu mengapa hatinya begitu sakit mendengar Fahri memuji-muji perempuan lain. Amara janji dia akan belajar masak mulai besok. Sehingga Fahri nggak akan punya kesempatan lagi memuji perempuan lain.

***NayaR***

Fahri baru sampai di rumah membawa sarapan. Pagi ini ia beli mie goreng. Sampai di ruang makan, dilihatnya Amara sudah siap dengan pakaian untuk jogging.
“Kamu mau jogging?” Fahri meletakkan kantong sarapan di atas meja.
“Aku mau ke pasar.”
“Ke pasar? Ngapaian?”
“Ya, belanjalah. Masa ke pasar kuliah.”
“Oh, iya. Maaf.” Fahri tersenyum.

“Kita sarapan dulu, yuk. Habis itu aku temani kamu ke pasar.”
Fahri mengambil piring dan mengeluarkan mie goreng dari kantong. Ditatanya mie goreng itu di dua piring. Amara mendekat dan duduk di hadapan Fahri. Fahri meletakkan salah satu piring di hadapan Amara.
“Kamu mau masak apa?” Fahri menuangkan air dari teko ke gelas. Lalu meletakkan lagi di depan Amara. Untuk beberapa saat Amara terdiam menerima perlakuan Fahri. Tiba-tiba Amara ingat papa dan mamanya. Biasanya mamanya lah yang melayani makan dan minum sang papa.
“Hai, ditanya malah bengong.” Fahri telah duduk dan mulai menyendok sarapannya.
“Eh, iya. Apa tadi?”

“Kamu mau masak apa? Terus bisa nggak masaknya? Kalau nggak bisa, tunggu aja dulu papa dan mama pulang. Nanti minta ajarin sama mama kamu.” Fahri memberikan solusi.

“Nanti aku lihat youtube. Gampanglah.” Amara menjawab dengan rasa percaya diri. Akhirnya Fahri mengangguk. ‘Tidak ada salahnya dicoba.’

Selesai sarapan, Fahri mengganti sarungnya dengan celana training. Lalu mereka berdua berangkat ke pasar dengan motor.

Sampai di pasar, Amara terlihat bingung mau belanja apa. Akhirnya Fahri yang berinisiatif membeli ayam, ikan, cabe, bawang merah, bawang putih, dan sayur-sayuran. Fahri bisa melihat jika Amara memang belum pernah masuk pasar sama sekali. Tetapi, setidaknya Amara telah berusaha untuk mencoba. Fahri menghargai hal tersebut.

Berdua dengan Amara, Fahri membersihkan ayam, ikan dan sayur-sayur hasil belanja mereka pagi ini. Ketika sedang memasukkan ikan-ikan ke dalam wadah untuk disimpan di freezer, ponsel Fahri berbunyi. Fahri mengeringkan tangannya dan mengeluarkan ponsel dari kantong celananya.

Fahri menatap ponsel di tangannya dengan perasaan bergemuruh. Fahri menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel itu ke telinga.

“Pulanglah, Nak. Papa dirawat.” Suara serak perempuan di ujung telepon membuat tubuh Fahri bergetar.

Mari Jatuh CintaWhere stories live. Discover now