Part 11

200 31 0
                                    

Ningning menunggu di halte bus yang tampak lengang di Sabtu sore ini. Ia rasanya ingin cepat sampai rumah mengingat ia sedari tadi menahan matanya agar tak menumpahkan lagi cairan yang ia tahan. Rasanya ia jika bisa ingin sekali membuang perasaan kecewa dan sakit di dada kirinya.
Ia menunggu bus ke arah daerah apartemennya sudah sekitar setengah jam, kini jam di pergelangan kirinya menunjukkan pukul 17.20, sedangkan pukul 17.30 busway akan berhenti beroperasi. Duh ini mana ya, keburu malem. Mana laper banget, batin Ningning.

Saat masih asyik mengamati lalu lintas sambil membiarkan pikirannya menerawang jauh, tiba-tiba seseorang dengan motor gede birunya berhenti di dekat halte. Si pengemudi kemudian melepas helmnya. 

"Ning," ujar si pengemudi motor biru tadi. Yang dipanggil menoleh pada asal suara. Ia tampak heran mengapa lelaki ini bisa sampai di daerah ini.

"Lho, kak, Renan? Ngapain di sini?"

"Abis ada perlu ke rumah saudara. Lo kenapa? Mata lo agak sembab gitu?"

Mendengar perkataan Renan, Ningning mengecek wajahnya dengan cermin kecil dari tasnya. Sial, ternyata saat ia menangis sebentar tadi membuat matanya terlihat sembab, meski tak begitu kentara. 

"Mau gue anter balik? Arah apartemen lo searah sama rumah gue, nih." 

"Nggak deh, kak. Takut ngerepotin."

Renan membuka jok motornya dan mengambil helm dari dalamnya. "Udah ikut aja, lo nggak tahu kalo hari ini halte rute daerah timur ke sini close jam 4 tadi?"

"Sumpah? Aduh gue nggak tahu info itu, kak. Kudet banget." Tidak, ia sebenarnya tidak sekurang up-to-date itu. Hanya saja saat menuju ke rumahnya tadi ia tak sempat memikirkan apapun selain sampai ke rumah secepatnya. 

"Ya udah, sini sama gue aja." Renan masih mengangsurkan helmnya pada gadi itu. "Diterima dong, pegel nih lengan gue." Ujarnya sambil dengan nada dimelas-melaskan.

Merasa tak enak menolak Ningning lalu menerima helm itu. "Ya udah, kak. Boleh deh." Ia kemudian naik ke jok belakang motor Renan.

"Mau mampir ke mana dulu gitu?" Tawarnya.

"Nyari tempat makan kak kalo nggak ngerepotin. Gue mau ngebungkus buat di apart." 

Renan tersenyum mendengar jawaban gadis itu. "Oke,"

***


"Gue boleh nanya?" Renan mengatakan dengan nada pelan, tampak berhati-hati. "Kalo nggak keberatan sih."

"Tanya tentang apa dulu nih? Kalo nggak pengen gue jawab nggak apa-apa?" Melihat Renan mengangguk, Ningning lalu berkata. "Silahkan, kak."

"Eh gini, lo baik-baik aja?" Renan agak salah tingkah saat menanyakannya.

"Santai aja kali kak, mungkin gini, lo mau tanya apa gue baik-baik aja soalnya mata gue sembab gini." Ningning seolah mewakili pertanyaan yang ada di kepala Renan, yang belum terungkapkan. "Gue baik, cuma ada masalah keluarga dikit."

Renan merasa agak bersalah telah menanyakan hal itu. Sepertinya itu cukup sensitif kali ini. "Sorry."

Sambil tersenyum agak dipaksa ia menatap Renan. "Life's include a bitterness kan, kak? Mungkin lagi gitu fase hidup gue sekarang."

Renan ikut sedih mendengar nada yang entah mengapa terdengar sedih di telinganya. "Mau ke taman kota nanti?" 

Ningning tampak berpikir sejenak untuk mempertimbangkan tawaran itu. Ia rasa saat sampai di kamarnya nanti ia hanya akan menangis. Hm, tidak ada salahnya untuk menghibur diri dahulu kan? Nangisnya urusan ntar aja, deh. Batinnya.

Fix Your Broken WingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang