Sakit

6.5K 1.4K 198
                                    

"Ih, kamu tuh!" Davina menepuk lengan Divan yang terus menggelitiknya. Mereka sudah siap masuk ke dalam mobil. Jika saja Davina tak melihat ke seberang jalan dan melihat Silvina di sana. Jelas, baik Davina dan Divan terkejut luar biasa. Davina berlari berusaha menyeberang. Sayang, Silvina sudah berlari lebih dulu.

"Van, kejar Kak Silvi, tolong!" pinta Davina lirih.

Divan mengangguk. Ia lekas berlari mengejar Silvina dan berusaha meraih lengan gadis itu. Setelah dapat, Divan menarik pelan lengan Silvina. "Kak, aku bisa jelasin semua. Tolong mengerti," pinta Divan.

Namun, Silvina hanya menggeleng. Ia memegang dada dan tak lama mulai kehilangan kesadaran lalu ambruk. Syukur Divan sempat menangkapnya hingga tak sampai terjatuh ke jalan. Davina yang baru sampai ke sana ikut duduk di depan Divan dan membelai rambut Silvina.

"Kak, sadarlah. Aku mohon, Kak," ucap Davina. Air matanya mengalir dan isakannya mulai terdengar.

"Divan, tolong panggilkan ambulan!" Davina histeris sambil memeluk tubuh kakaknya. Divan mengangguk. Ia menelpon nomor darurat.

Tak lama ambulan datang dan Divan membantu mengangkat Silvina ke atas stretcher. Setelah pintu ambulan di tutup, Divan membawa Davina ke mobil. Mereka mencoba menyusul ambulan. "Kamu hubungi orang tuamu. Mereka harus tahu," saran Divan.

Davina mengangguk. Ia mencoba menghubungi ibunya, tak tersambung. Sepertinya nomornya diblokir. Untung saja Davina berinisiatif menelpon Leo. Anak itu tak lama mengangkat telpon dari Davina. "Kenapa, Kak?" tanya Leo.

"Dek, tolong beri tahu Papa dan Mama. Kak Silvina masuk rumah sakit. Ini Kakak sedang menyusul ke sana. Nanti lokasinya Kakak kirim ke kamu." Walau panik, Davina masih bisa menjelaskan semuanya. Ia kirimkan lokasi rumah sakit ke adiknya.

Ambulan tak terkejar. Di sini setiap ambulan lewat kendaraan lain akan minggir dan menyisakan jalan di tengah. Tak ada kendaraan lain yang berani mengikuti lansung dari belakang sehingga pasien lebih cepat diantar.

Tiba di rumah sakit, Davina menanyakan ke mana kakaknya dibawa ambulan. Ia langsung diantar suster ke ruang ICU. Di sana mereka hanya di depan pintu. Tak diizinkan satu orang pun masuk ke dalam ruangan.

Davina duduk di kursi yang tersedia di lorong. Ia masih menangis dan Divan berusaha menenangkan dengan cara memeluk. "Ini salahku, harusnya aku jujur padanya sejak awal. Ini semua salahku," ucap Davian terus mengutuk dirinya sendiri.

"Kita nggak bisa menyenangkan orang lain dan diri kita dalam saat yang bersamaan, sayang. Ini bukan salahmu, sejak awal Kakakmu sakit dan kamu tahu itu," nasihat Divan.

"Iya, tetap saja aku yang salah. Aku yang membuat dia sedih. Aku tahu dia sakit dan aku malah menyakiti dia. Aku yang salah!"

Divan mendengar suara langkah tergesa-gesa di lorong. Ia melirik ke sumber suara. Ada Stephani, Rein dan Leo di sana. Rein mendekati pintu, ia mengetuk dan mencoba masuk. Hanya ia langsung diberi peringatan oleh penjaga ruangan.

Davina dan Divan berdiri. Stephani saat itu hendak menampar pipi Davina, tetapi langsung ditahan Divan. "Jangan sakiti dia, dia putri anda sendiri," larang Divan.

"Putriku? Kalau dia putriku pasti sudah dengarkan apa yang aku pinta. Dia bukan putriku, dia anak durhaka yang hanya bisa memberi kesengsaraan pada orang tuanya. Kalau saja dia nggak lahir, aku masih bisa hidup bahagia tanpa harus dibebani membawa dia ke mana-mana. Aku besarkan dia seorang diri dan yang dilakukannya sejahat ini padaku!" bentak Stephani.

Davina menangis mendengar itu. "Maafin aku, Ma," ucap Davina. Ia ingat saat memohon pada Stephani agar membawanya juga pergi begitu ibunya itu hendak meninggalkan rumah setelah bertengkar dengan Andrew.

"Kamu ini memang seperti Papamu!" tambah Stephani.

Rein yang tak bisa masuk ke ruangan mendekati Davina. Ia tarik lengan wanita itu dengan kasar. Divan menepis lengan Rein dan melindungi istrinya. "Kamu apakan anakku? Kamu apakan?" bentak Rein. Davina menggeleng. "Kamu ini tak tahu diri! Sudah dibesarkan melunjak!"

"Tolong ralat kalimat itu. Anda membesarkannya? Apa anda lupa karena anda dia kehilangan kasih sayang ibunya? Bahkan ibunya lebih perhatian pada anak anda!" lawan Divan.

"Jangan ikut campur kamu!" Stephani menunjuk wajah Divan.

"Aku berhak ikut campur. Yang kalian marahi istriku. Dia menderita selama ini dan kenapa harus ia yang kalian tunjuk sebagai pelaku?" tegas Divan.

"Istriku?" tanya Rein. Ia tatap istrinya, Davina dan Divan bergiliran. "Ouh, kalian selama ini menipu putriku, begitu? Adik macam apa kamu itu Davina? Lelaki yang disukai kakakmu, tega kamu rebut begitu saja? Nggak punya hati kamu itu!" tunjuk Rein pada Davina.

"Apa salahnya? Aku dan Davina sudah saling suka sejak dulu, jauh sebelum Silvina ada di antara kami." Divan masih berusaha mempertahankan posisi istrinya.

"Pergi dari sini! Aku tak mau melihat wajah kalian lagi! Pergi!" usir Rein.

Divan langsung memeluk Davina dan membawa istrinya keluar dari tempat itu. "Kalau sampai putriku kenapa-kenapa, aku laporkan kalian ke polisi!" ancam Rein.

🌲🌲🌲

🌲🌲🌲

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
Menikah Karena Sayang (TAMAT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant