04: warning sign

643 84 15
                                    

"Dikabarkan tiga belas orang selamat, lima puluh sembilan orang luka ringan, enam puluh tiga orang meninggal dunia, dan lima belas orang masih belum ditemukan. Untuk saat ini tim penanggulangan bencana masih berusaha sebaik mungkin dalam usaha pencarian."

Kalimat-kalimat berita terdengar seperti dengung samar. Ketika lelaki pirang menyalakan televisi pagi itu, suasana ruang makan terasa aneh. Naobito, sang ayah sudah duduk di sisi meja, menyantap set sarapan tanpa menunjukkan ekspresi apapun.

"Apa Fushiguro Toji sudah tiada?" Pertanyaan itu terucap dengan nada lirih. Naoya melirik sang ayah yang sibuk dengan sumpit dan makarel. Dalam diam pria itu menyuwir-suwir dagingnya hingga kecil.

"Ya," sahut Naobito lalu memasukkan satu suwir ke dalam mulut. Ia kemudian terkekeh pelan. Sang anak hanya menatap kosong, bergeming seiring kekeh berubah menjadi tawa kencang yang tanpa sadar membuat lelaki itu sesak.

"Mati dan tercecer di laut," imbuh si pria kemudian menyumpit serpihan lain.

Naoya masih terdiam. Melirik piring makarel sang ayah yang isinya sudah tak berbentuk, lalu membandingkan dengan miliknya yang belum tersentuh. Apa tercecer seperti itu? Sampai wajah dan tubuhnya tak dapat dikenali lagi?

"Sekarang kau tak perlu risau lagi," sebut Naobito seraya menepuk pundak Naoya, kemudian meremas pelan sebagai tanda peringatan tersirat.

"Orang yang selalu mengganggu otakmu sudah pergi untuk selama-lamanya."

Ingatan sepuluh tahun yang lalu tiba-tiba terbesit seperti mimpi. Zenin Naoya sudah berada di ranjang sekarang, selepas dipukul berulang kali dan ditembak pada kaki. Hidungnya mengernyit tak nyaman. Aroma disinfektan bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pasien rumah sakit. Tapi Naoya juga tidak dapat kabur jika bahkan kakinya saja tak dapat digerakkan. Pipi dan hidung lelaki itu masih terasa perih dan tersengat. Mata rubahnya membuka sayu, menyisir ruangan untuk mendapati pria beruban yang sudah menunggu sejak tadi.

"Kau gegabah," diktenya sembari memukul lengan Naoya dengan kepalan tangan. Berulang kali.

"Kau tidak memperhitungkan kerugian karena memancing Ryomen Sukuna," imbuh pria itu kemudian mencengkram lengan kuat-kuat.

Naoya tidak mengucap sepatah katapun, meski cengkram di lengannya meninggalkan bekas memerah. Sakit dan menyiksa.

"Sadari kesalahanmu di kamar ini sampai aku selesai membenahi perusahaan," ucapnya final seraya beranjak pergi.

Hanya sebentar. Pria itu tidak pernah berlama-lama untuk mendikte sang anak. Namun setiap perkataan, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya sudah mampu membuat Naoya tak berkutik.

Ayahnya, Zenin Naobito memang sekejam itu. Hingga tanpa bertukar pandang pun Naoya sudah tahu bahwa dirinya sekarang berada di ujung tanduk.

.

.

.

Berjaga di depan sebuah bar minuman bukan hal asing bagi Megumi. Setidaknya dalam seminggu, minimal ia melakukan ini sebanyak tiga kali--tentu bersama anggota geng yang berada di bawah pimpinannya sejak sekolah menengah pertama. Bukan hal yang sulit untuk seseorang yang pandai bela diri. Hanya saja, akan sangat menyebalkan bila klien tidak memberikan bayaran yang sesuai. Megumi akan bertindak, menarik kerah dan mengancam mereka. Namun biasanya hal itu tidak terjadi, kecuali pada sebuah peristiwa di mana orang-orang Ryomen--yang kebetulan bermusuhan dengan klien--merusak semuanya.

Malam ini harusnya tidak. Megumi dan anggota gengnya sudah berjaga selama satu jam. Belum ada hal-hal aneh atau mencurigakan terjadi. Sampai pada detik ini, detik di mana beberapa orang berjas hitam datang dan mengepung bar. Sebuah sedan berhenti di depan, lalu sosok berambut putih sebahu turun untuk membuka pintu mobil bagian tengah. 

dearly | sukufushiWhere stories live. Discover now