UNDANGAN?

153 5 0
                                    

Ajun menatap tumpukan kertas di hadapannya. Kertas bermotif bunga dengan nuansa cokelat itu sudah seperti tumpukan proposal bagi Ajun.

Sebuah bolpoin masih setia di tangannya.

Ajun dilanda dilema. Dia bingung harus menulis nama siapa saja di atas kertas undangan itu. Ia benar-benar sangat bingung.

Sebuah bohlam seakan muncul di kepalanya.

Dia meraih ponsel, menghubungi seseorang.

Tidak lama, panggilan tersambung.

"Hallo! Kiran adeknya-"

"Ke ruangan saya sekarang. Saya tunggu."

Bip!

Ajun kembali menyimpan ponselnya ke atas meja. Tangannya beralih pada buku catatan, Dosen tampan ini sedang memeriksa tugas para mahasiswa-mahasiswinya.

Besok mau nikah, masih saja ngajar.

Dasar.

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar dari luar. Ajun mengintruksikan untuk langsung saja masuk ke dalam. Pintu terbuka lebar, Kiran dan para sahabatnya berdiri sana.

Ajun sedikit terkejut saat Kiran membawa teman-temannya. Ajun mengisyaratkan Kiran untuk masuk dan tidak membawa teman-temannya. Namun Kiran menggeleng.

"Saya lagi belajar kelompok, Pak. Ada apa?"

Ajun mengusap wajah gusar.

"Saya cuma panggil kamu. Sendiri."

Kiran mengernyit.

"Bukannya kalo dikerjakan bersama-sama pekerjaan cepat selesai, ya? Oleh sebab itu saya membawa Raya dan Gita." Ujar Kiran polos. Dengan muka super duper polosnya.

Ajun bangkit dari duduknya. Dia berjalan menghampiri mereka bertiga. Ajun berdiri tepat di hadapan Kiran. Dia menarik sebelah tangan Kiran, membuat Kiran terbelalak lebar. Sedangkan Gita dan Raya menutup mulut tidak percaya.

Setengah mati Ajun tersenyum tipis.

"Saya pinjam Kiran dulu."

Ajun menarik Kiran masuk ke ruangan. Langsung saja menutup pintu rapat-rapat. Ajun menarik Kiran menghampiri sofa. Dia mendudukkan Kiran di sana. Kiran yang masih saja mematung karena syok itu hanya menurut. Sedangkan Ajun berjalan kembali ke mejanya, membawa setumpuk kertas tadi.

Ajun duduk di sebelah Kiran. Dia menyimpan undangan-undangan itu di atas meja. Cowok itu menyodorkan sebuah bolpoin pada Kiran.

"Ini. Kamu mau undang siapa saja?"

Kiran mengerjap kaget.

"Undangan apa, Pak?!"

"Undangan pernikahan kita."

Setelah beberapa detik ngebug, Kiran mengerti.

"Bapak mau undang siapa saja?"

"Saya juga nggak tau," Ujar Ajun bingung.

Kiran menatap penasaran Ajun.

"Bapak nggak punya temen?"

Ajun melotot tidak terima.

"Punya! Teman saya itu kebanyakan di luar negeri. Pasti tidak bisa datang ke sini. Orang pernikahannya juga besok."

Kiran menatap jengkel tumpukan kertas itu.

"Saya kira nggak bakal undang-undang orang."

"Saya juga. Ayah saya mendadak kasinya tadi."

"Bapak bakal undang orang-orang kampus?"

Ajun menggeleng pelan.

"Sesuai keinginan kamu, saya akan rahasiakan pernikahan kita dari pihak kampus. Terkecuali Ketua Yayasan, beliau sahabat Ayah saya."

Kiran menunduk dalam. Rasanya benar-benar aneh mendengar ucapan Ajun. Padahal Itu yang Kiran inginkan. Tapi rasanya ada yang tidak beres di diri Kiran.

"Saya egois ya, Pak?"

Ajun terdiam. Baru kali ini dia melihat Kiran seperti ini. menunduk dalam seakan merasa bersalah. Dari lubuk hati yang terdalam, Ajun membenarkan pertanyaan Kiran. Namun, dia juga tidak bisa menyalahkan Kiran atas semua keinginannya yang terkesan egois ini.

Jika ditanya, Ajun akan merasa baik-baik saja jika pihak kampus mengetahui pernikahannya. Tapi, dia juga harus memikirkan kondisi Kiran, dia tidak ingin Kiran menjadi semakin tersiksa dengan permasalahan ini.

"Saya nggak apa-apa, Kiran. Santai saja."

Kiran terdiam sebentar.

"Pak, setelah saya pikir-pikir semua ini salah."

"Maksud kamu?"

"Saya rasa, saya akan baik-baik saja meski semua orang tau pernikahan kita ini. Toh, ini juga pernikahan palsu kan?"

"Jangan mengambil keputusan dengan cara seperti ini, Kiran. Saya akan menghormati keinginan kamu ini. Tenang saja. Percaya dengan saya. Ya?"

Kiran mengangguk pelan, masih saja tidak bisa mengangkat kepalanya. Entah mendapat keberanian dari mana, Ajun bisa tersenyum. Dia mengelus puncak kepala Kiran penuh dengan kasih sayang, yang dielus diam-diam terhanyut meski matanya masih saja melotot tidak percaya.

"Ini beneran Pak Ajun? Si Dosen killer yang pelit nilai itu? Napa tiba-tiba sweet gini anjir? Aneh. Jadi merinding gini gue."

MR. ARDJUNA RIGHT [SELESAI]Where stories live. Discover now