4. Heartache

290 71 24
                                    

Beberapa orang dirancang untuk memiliki banyak titik temu pada sosok yang sama. Untuk sementara waktu, mari biarkan agar tetap seperti itu.

Lagu: One Ok Rock ㅡ Heartache

---

Lapangan Sabuga memiliki titik hidup malam ini.

Di tengah lapangan yang menjadi pusat atensi utama, ada panggung besar yang berdiri kokoh. Sudah banyak bintang tamu yang datang. Almira bahkan tidak ingat pasti siapa saja yang sudah mengisi panggung itu. Meski keasingan lebih mendominasi suasana sekarang, ternyata dia cukup menikmatinya.

Kalau Bunda masih ada, mungkin ponselnya sudah dipenuhi pesan masuk dari Bunda yang menanyakan kapan ia pulang. Karena Bunda selalu memberi batas untuk pulang ke rumah maksimal pukul delapan malam. Itu hanya terjadi jika Bunda masih ada.

Sebuah harapan yang masih sesak, rupanya.

"Lo ke sini naik apa, Al?" Yara menoleh setelah MC naik ke atas panggung. Lehernya mengalungkan name tag panitia sementara wajahnya tampak kelelahan setelah sibuk di backstage sejak tadi. "Bareng Qila?"

"Iya, tadi dia nyamper gue dulu."

"Itu yang bareng Qila temennya apa gebetannya, sih? Kaget gue pas ketemu dia, tiba-tiba bareng dua cowok."

"Narenㅡyang rambutnya agak klimisㅡitu saudaranya. Satu lagi Jian, temennya Naren, tapi udah akrab kelihatannya sama Qila."

Bibir Yara membulat, sementara kepalanya mengangguk samar. "Kayaknya seisi kampus kenal sama Qila, ya."

Almira lantas tertawa mendengarnya. Ucapan Yara ada benarnya.

"Padahal kita masih semester empat, tapi kenalan Qila banyak banget," tambah Yara. "Beda banget sama gue. Gue nggak ikut organisasi kayak lo, nggak social butterfly kayak Qila. Ah, cupu amat mahasiswa kupu-kupu kayak gue. Kalau lo waktu itu nggak ngeyakinin supaya gue ikut kepanitiaan Orenji, malem ini pasti gue masih rebahan sambil streaming NCT, deh."

Almira menoleh, sedikit terkejut karena Yara tiba-tiba berujar dengan nada rendah. "Lo akhirnya berani ikut Orenji juga udah hebat, Yar."

"Kalian jauuhhh lebih hebat. Gue nggak ada apa-apanya dibanding kalian."

Setelah mengucapkan itu, Yara menatap jauh pada hiruk pikuk keramaian yang mengganggu pandangannya. Intensi manusia berlalu-lalang di depan pandangannya, sementara kakinya hanya berpijak pada tanah dekat stand jagung bakar. Banyak panitia yang sejak tadi berjalan melewatinya, tapi tak ada satu pun yang menegur Yara untuk sekadar basa-basi.

Bagi Yara, dia itu kecil sekali. Seperti partikel debu yang tidak perlu repot-repot diberi atensi oleh orang lain. Sehingga bersanding dengan Almira dan Qila, dia merasa seperti hitam di dalam sebuah kegelapanㅡyang berarti tidak memiliki fungsi apa-apa.

"Yar."

"Hmmm."

Tangan Almira menarik ujung name tag Yara. "Ini," katanya, "udah jadi bukti kalau lo juga hebat. Kata 'hebat' itu punya makna yang sangaatt luas. Nggak ada dikte khusus harus ngelakuin apa untuk kelihatan hebat. Lo akhirnya berani ikut kepanitiaan Orenji, lo udah berani lawan ketakutan lo, itu juga udah hebat."

"Iya, sih ...." Yara melipat bibirnya. "Tapi kan tetep aja nggak sehebat kalian." Satu sudut bibirnya terangkat. Dengan ekspresi keruh, dia masih mengembangkan senyum seolah-olah ucapannya tak ada arti serius.

"Bunda pernah bilang ke gue, dunia nggak punya standar hebat yang mutlak. Karena tujuan dan pencapaian orang yaa ... beda-beda. Akhirnya setiap manusia punya hebat versi kita masing-masing. Jadi, banding-bandingin apa yang lo dapat sama apa yang orang lain punya itu nggak fair. Nggak fair buat diri lo sendiri, nggak fair buat orang lain."

Lakuna 001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang