девять ; Bis später

483 58 31
                                    

Untuk pertama kalinya, Annie membolos.

Armin kerap membujuknya untuk kembali ke sekolah, bersedia mengantarkannya sampai depan kelas jika itu perlu. Tentu saja gadis itu jelas-jelas menolak. Itu memalukan baginya. Laki-laki itu sempat menceramahi layaknya sosok seorang ibu --- walau ia tidak pernah merasakan punya ibu --- resiko akan membolos.

Celotehannya sempat membuat terkekeh. Gadis itu tak pernah terkekeh atau menunjukan senyum lebar pada siapapun termasuk ayahnya kecuali jika terpaksa oleh keadaan. Kali ini, ia tersenyum tipis dengan tulus. Sempat memergoki bahwa laki-laki yang bersamanya itu sempat merona ketika dirinya tersenyum, cepat-cepat ia mengulum senyumnya.

"Annie, ayo senyum lagi!"

"Tidak," ucapnya berlagak ketus.

Armin membenarkan posisi duduknya. Omong-omong mereka tengah duduk pada salah satu toko yang menghadap laut, tak jauh dari lokasi festival.

"Kenapa?" tanya Armin.

"Pokoknya tidak mau."

"Haah ... sayang sekali." Armin menunduk, menghela napas --- berpura-pura kecewa. Sedetik kemudian ia kembali menatap mata biru Annie lamat-lamat.

"Padahal aku suka senyumanmu."

Panas menjalar naik ke pipi gadis itu. Menimbulkan rona merah. Annie yakin wajahnya sudah semerah pantat babon. Lantas ia memalingkan wajah. Laki-laki ini berbahaya. Ia tidak bisa terus-terusan bersamanya jika tidak ingin terkena serangan jantung mendadak.

"Kalau aku tersenyum, nanti pipimu merah, bodoh!"

"Eeh??" Armin langsung menyentuh pipinya.

Ketika Annie memalingkan wajahnya kembali menghadap Armin, pipi laki-laki itu juga merona kemerahan.

"T-Tapi pipimu juga merah loh, Ann," ujar anak itu menunjuk pipi Annie.

Mereka berdua bertatapan satu sama lain. Kedua pipi mereka bersemu. Armin yang tak bisa menahan senyumnya pun perlahan tersenyum. Lain halnya dengan Annie yang justru menjitak kepala laki-laki itu kemudian menutupi wajahnya sendiri dengan tangan.

Sejujurnya, anak laki-laki itu juga tidak mengerti kenapa pipinya bisa merona merah seperti gadis itu. Ia merasa sangat-sangat-sangat senang! Gadis itu tersenyum dan terkekeh untuk pertama kalinya. Armin sempat berpikir bahwa gadis itu mengidap Moebius Syndrome karena nyaris tak pernah tersenyum.

Ternyata dia salah. Mungkin alasan gadis itu jarang tersenyum karena dia akan lebih cantik berkali-kali lipat. Armin bukan pembohong, hatinya berkata demikian. Bagaimana bisa ia mewarisi senyum Aphrodite? Kenapa ia lebih memilih menyembunyikan senyuman itu?

Armin meraih kameranya diam-diam. Mengarahkan lensanya pada gadis itu. "Annie, lihat sini," pintanya.

Gadis itu masih menutupi wajahnya ketika menoleh. Mengintip dari celah-celah jarinya, mendapati bocah itu tengah mengarahkan kamera padanya. Ha! Sudah ia duga, ia tidak akan terjebak lagi. Armin yang hendak menekan tombol itu mendadak diam begitu mengetahui bahwa Annie masih menutupi wajahnya. Ups dia gagal.

"Tadi kan sudah?"

"Memang tidak boleh foto lagi?"

Annie cepat-cepat menggeleng. Heran, anak ini hidupnya cuma tentang kamera ya?

Oh, kemana Annie tempo lalu? Tidak biasanya dia cepat akrab dengan orang baru. Bahkan teman-teman dekatnya seperti Reiner dan Bertholdt tidak sedekat ini. Pun dengan orang lain, bahkan mereka sudah menjauh lebih dulu ketika melihat Annie.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 04, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Paradise ; AruaniWhere stories live. Discover now