BAGIAN 6

99 9 0
                                    

Suara jeritan Raksasa Kembar agaknya terdengar pula oleh orang-orang yang berada di luar. Wajah mereka kelihatan tegang. Bahkan ada juga yang gemas.
"Ada apa sebenarnya di dalam gua ini?" gumam salah seorang tokoh persilatan.
Orang ini dikenal dengan nama Ki Sampang. Dia seorang tokoh terkenal di wilayah timur. Kehadirannya di tempat ini tak lain ingin melihat sendiri kehebohan berita yang didengarnya dari kawan-kawannya sesama tokoh persilatan, mengenai pusaka peninggalan Dewi Ratih.
"Orang-orang percaya kalau di dalamnya ada seorang tokoh sakti," sahut salah seorang tokoh lainnya.
"Siapa bilang?!" Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
Serentak para tokoh persilatan menoleh. Tampak seorang laki-laki kurus memakai baju panjang berwarna hitam. Wajahnya kelihatan angkuh, namun penuh percaya diri. Di pinggangnya terselip sebilah pisau agak panjang dengan gagang bengkok. Dengan langkah panjang, dia maju ke mulut gua.
"Siapa orang itu?" tanya salah seorang tokoh.
"Entahlah. Sepertinya dia pendekar dari negeri seberang...," sahut temannya.
"Lagaknya angkuh sekali. Dikira dia mampu masuk kedalam gua dan keluar dengan selamat!" cibir yang lain.
"Kita lihat saja...."
"Siapa kau, Kisanak? Apakah kau berminat mengadu nasib di dalam gua ini?" tegur salah seorang yang mengenakan topeng hitam.
"Aku Sampang! Bukan sekadar mencari peruntungan, tapi akan kulihat sampai di mana keangkeran isi gua ini!" kata laki-laki berbaju panjang hitam itu, sombong.
Orang bertopeng hitam itu mengangguk kecil.
"Silakan masuk, Kisanak! Tantanglah orang di dalamnya."
Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki bernama Ki Sampang melangkah lebar ke dalam gua. Matanya menatap lebar dan telinganya dibuka tajam. Ujung terowongan yang dimasukinya tak terlihat oleh pandang mata biasa. Namun tokoh satu ini mampu melihatnya.
"Hup!" Dengan cepat Ki Sampang masuk ke dalam sebuah ruangan yang merupakan ujung terowongan. Sebelum meneliti keadaan sekelilingnya, terdengar suara batu bergeser dengan cepat. Dan ketika menoleh, pintu terowongan telah tertutup batu besar. Namun Ki Sampang tidak menjadi terkejut. Bahkan perhatiannya dipusatkan pada yang lain.
Set! Set!
Seperti yang terjadi pada si Raksasa Kembar, maka hujan anak panah pun kembali menimpa tokoh yang satu ini. Namun dengan tenang, tubuhnya berkelit. Cepat dia melompat pada sebuah batu yang berukuran agak besar, dan bertiarap didekatnya. Dengan begitu, hujan anak panah itu tidak terlalu menderanya. Bahkan sebagian berhasil ditangkis dan dielakkan!
Hujan anak panah itu berhenti. Dan Ki Sampang pun bangkit berdiri.
"Siapa pun kau, keluarlah! Aku Sampang menantangmu bertarung!" teriak Ki Sampang lantang.
"Hahaha...! Hanya dengan kepandaian seperti itu kau mengajakku bertarung?!" sahut satu suara yang memenuhi ruangan, dan bergema ke mana-mana.
"Diam kau! Perlihatkan dirimu...!" bentak Ki Sampang. Suaranya menggelegar, untuk membalas himpitan tenaga dalam yang dikerahkan lewat suara tawa tadi.
Saking hebatnya tenaga dalam yang dikerahkan Ki Sampang, terlihat beberapa bebatuan, dan kerikil ruangan ini bergetar dan rontok satu persatu!
"Hm.... Kau hendak pamer tenaga dalam di sini?!" leceh suara tanpa wujud yang terdengar sinis ketika Ki Sampang menghentikan teriakannya.
"Keluarlah kau. Dan tidak usah main sembunyi-sembunyi padaku!" teriak Ki Sampang.
"Baiklah kalau itu yang kau inginkan."
Begitu suaranya selesai, maka saat itu juga berkelebat sesosok bayangan ke arah Ki Sampang, Gerakannya cepat laksana seekor kelelawar yang tengah menangkap mangsanya, saat menyambar.
"Huh!" Ki Sampang mendengus sinis. Dan tanpa berbalik, sebelah tangannya dikibaskan untuk menangkis serangan.
Plak!
Wut!
"Hup!" Meski telah mengerahkan tenaga dalam, tapi tetap saja Ki Sampang merasakan hantaman kuat pada lengannya. Dan sebelum sempat berbuat apa-apa, mendadak datang serangan kembali ke arah dadanya. Ki Sampang terpaksa melompat ke belakang.
Tap!
Begitu kedua kaki laki-laki ini menyentuh dinding ruangan, dengan digenjotnya. Seketika tubuhnya melenting dan langsung memapaki serangan seraya mencabut pisau yang terselip di pinggang.
Trang!
Sesaat terdengar suara senjata tajam beradu. Dan Ki Sampang bermaksud menyodokkan ujung pisaunya ke bagian tubuh yang lunak dari sosok ini. Tapi sebelum hal itu dilakukan....
Brettt!
"Aaakh...!"
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu terasa sesuatu mengiris pangkal lengan kanan Ki Sampang. Dia menjerit. Bukan saja senjatanya yang terlepas, namun lengan kanannya pun ikut putus disambar senjata sosok itu.
"Hiih!" Sosok itu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Saat itu juga tubuhnya berkelebat, sambil membabatkan senjatanya yang berupa tongkat runcing.
Crasss!
"Aaakh...!" Sesaat kemudian terdengar jeritan panjang menyambung, tatkala perut Ki Sampang dirobek senjata sosok itu. Tubuh Ki Sampang langsung ambruk tak berdaya, berkumpul bersama mayat-mayat lain yang berserakan di tempat ini.
"Hm... Seharusnya kau mengerti, tak ada gunanya merebut benda yang bukan milikmu!" dengus sosok ini yang untuk sesaat tegak berdiri mengawasi mayat-mayat yang berserakan.
"Orang itu mati! Tambah satu korban lagi!" desis seseorang yang berada dekat di mulut gua sehingga jerit kematian Ki Sampang terdengar jelas.
"Kita tidak bisa terus begini, Tuanku Jubah Hitam!" bisik salah seorang bertopeng hitam, pada orang bertopeng lain yiang memegang tongkat di dekatnya.
"Ya, aku tahu!" sahut sosok yang tak lain si Jubah Hitam.
"Apakah akan kita ledakkan gua itu, Tuanku?"
"Tunggu dulu!"
"Kita tidak bisa menunggu lebih lama, Tuanku. Mereka akan semakin banyak berkumpul di sini!"
"Itu lebih baik. Lebih banyak korban, akan membuat jalan kita semakin mulus."
"Tapi Tuanku...." '
"Jangan membantah lagi!"
"Baiklah..."
"Bagaimana keadaan yang lain? Apakah mereka telah berhasil menemukan jalan masuk dari arah lain?"
"Belum ada laporan, Tuanku."
"Goblok! Apa saja kerja mereka?!"
"Tapi kurasa sebentar lagi akan berhasil, Tuanku."
"Hm.... Kuharap saja begitu. Kalau tidak, nasib kalian akan sama dengan mereka yang telah masuk ke dalam gua itu!" dengus si Jubah Hitam yang membawa tongkat.
"Bagaimana dengan bocah yang menjadi murid Ki Pulung?"
"Kami telah memaksa Ki Pulung. Dan sebentar lagi, tentu dia datang bersama bocah itu."
"Aku tidak mau bertele-tele lagi! Kalau dia tidak bisa dibujuk, pakai kekerasan!"
"Aku telah perintahkan begitu, Tuanku."
"Bagus!"
Percakapan mereka terhenti sejenak, karena saat itu tiga sosok tubuh bergerak menuju ke dalam gua.
"Hm.... Mereka adalah murid-murid Perguruan Macan Putih!" gumam si Jubah Hitam.
"Apakah menurut Tuanku mereka akan berhasil?"
"Mereka hanya mengantar nyawa sia-sia!" dengus si Jubah Hitam.
Sesaat beberapa orang bertopeng hitam menghampiri.
"Tuanku, kami membawa berita!" lapor salah seorang.
"Apa?" tanya si Jubah Hitam.
"Pemuda itu telah kami bawa."
"Bagus! Di mana dia?"
"Di belakang bukit, Tuanku. Dia bersedia menunjukkan jalan lain menuju Gua Griwa."
"Hmm...!"
"Bagaimana selanjutnya, Tuanku?"
"Aku akan ke sana. Dan sebagian berjaga di sini sampai kuberi perintah selanjutnya!"
"Baik, Tuanku!"
Maka bersama beberapa orang anak buahnya, si Jubah Hitam angkat kaki dari tempatnya. Namun hal itu agaknya tak lepas dari perhatian Pendekar Rajawali Sakti.
"Orang-orang itu pergi...."
"Dan sebagian tinggal di situ...," timpal Sakaweni.
"Kau pun curiga?"
"Ya! Akan kuikuti mereka!" sahut gadis itu cepat.
"Aku akan tetap mengawasi di tempat ini," kata Rangga.
"Hati-hati!"
Sakaweni mengangguk, lalu berkelebat dari tempat itu. Namun dia mengambil jalan memutar. Dengan gerakan hati-hati sekali Sakaweni berusaha mengikuti si Jubah Hitam dari jarak yang cukup jauh.
"Mau ke mana mereka? Hm.... Aku yakin! Orang-orang ini yang menginginkan kematianku. Siapa mereka sebenarnya?" gumam gadis ini dengan perasaan geram.
Kalau menuruti perasaan, ingin rasanya gadis ini menyergap sekaligus membuka kedok orang-orang itu. Setelah mengetahui wajah-wajah mereka, maka selanjutnya pedangnya akan bicara untuk menghukum. Tapi sebisa mungkin, dia berusaha menahan diri.
"Mereka tentu bukan orang-orang sembarangan. Terlebih lagi orang yang membawa tongkat itu. Aku yakin kalau dia pemimpinnya. Hm.... Aku mesti tahu dulu, apa yang akan mereka lakukan. Baru setelah itu menentukan langkah selanjutnya."
Orang-orang bertopeng hitam itu menuju ke balik bukit yang jaraknya kurang lebih seratus lima puluh tombak dari Gua Griwa kalau ditarik garis lurus. Di sana telah menunggu beberapa orang bertopeng lainnya. Dua dari mereka, tampak sedang mengapit seorang pemuda yang kedua tangannya dibelenggu di belakang.
"Hm.... Inikah bocah itu?" tanya si Jubah Hitam ketika telah tiba di hadapan pemuda yang ditawan anak buahnya.
"Ya, Tuanku!" sahut salah satu orang bertopeng yang mengapit pemuda itu.
"Sudah tanyakan padanya?"
"Sudah, Tuanku! Dia bersedia bekerja sama."
"Hmm...." Si Jubah Hitam yang memegang tongkat memandang sesaat lamanya pada pemuda di depannya.
"Benarkah kau bersedia menunjukkan letak jalan keluar dari dalam gua itu, Bocah?" tanya si Jubah Hitam.
"Aku tidak yakin...."
"Mudah-mudahan kau bisa menemukannya. Karena kalau tidak..., kau tidak akan melihat matahari esok!" desis si Jubah Hitam.
Wajah pemuda itu tampak pucat. Nyata kalau dia ketakutan mendengar ancaman.
"Ayo, ingat-ingat!
"Aku sudah katakan pada mereka, bahwa aku keluar dari mulut Gua Griwa."
"Aku tidak tanyakan itu. Tapi nanti setelah kita berada di dalam!" tukas si Jubah Hitam.
"Baiklah, akan kucoba mengingat-ingatnya...," sahut pemuda itu, ragu.
"Hm, tunjukkan jalan keluar itu!" ujar si Jubah Hitam pada anak buahnya.
"Aku yakin di sini letaknya, Tuanku!" tunjuk seorang anak buah si Jubah Hitam sambil mengetuk-ngetuk dinding bukit di dekatnya.
"Hm.... Pasti ada cara bagaimana membuka pintunya."
"Kami sudah telusuri semuanya. Namun hasilnya nihil, Tuanku. Agaknya pintu ini terbuka dan tertutup lagi dalam waktu singkat. Kami yakin hanya bisa dibuka dari dalam,"
"Kalau begitu, tidak ada cara lain!" dengus si Jubah Hitam. Si Jubah Hitam segera maju mendekati dinding bukit itu. Diketuk-ketuknya sebentar, lalu mundur beberapa langkah.
"Menepilah Kalian!" ujar si Jubah Hitam.
Orang-orang bertopeng itu mengerti apa yang hendak dilakukan pemimpinnya. Maka ketika orang-orang itu mulai menyingkir, si Jubah Hitam segera menarik napas dalam-dalam seraya mengangkat kedua telapak tangannya di bawah dada. Lalu?
"Hup! Yeaaa...!" Dari kedua telapak tangan si Jubah Hitam terlihat selarik cahaya biru tua melesat menghantam sasaran.
Blarrr...!
Dinding bukit yang terbuat dari batu cadas itu kontan hancur berantakan menimbulkan suara keras. Seketika terlihat sebuah terowongan yang menanjak ke atas melalui anak tangga.
"Hm... Berarti apa yang dikatakan si Darta Rawon memang benar," gumam si Jubah Hitam pelan.
"Tuanku! Apa yang akan kita kerjakan sekarang?" tanya seorang anak buahnya seraya mendekat.
"Bawa bocah itu ke dalam. Dan dua orang dari kalian memberi tahu yang lain agar mereka masuk lewat depan, seperti yang kita rencanakan!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!"
Dua orang segera berkelebat. Dan yang lain membawa pemuda itu masuk ke dalam. Sedangkan si Jubah Hitam yang menyusul di belakang. Namun baru melangkah beberapa tindak...
"Tuanku, buruan kita ada di sini!" teriak orang bertopeng pertama kali angkat kaki,
"Hmm!" Si Jubah Hitam itu menghentikan langkah. Demikian pula yang telah lebih dulu masuk. Mereka keluar lagi, ketika melihat dua kawannya tengah bertarung melawan seorang gadis bersenjata pedang.
"Yeaaat...!"
Gadis yang tidak lain dari Sakaweni tampak mengamuk dahsyat. Semula dia ingin mengikuti dari belakang. Tapi siapa nyana, kedua orang bertopeng itu ternyata memergokinya. Maka kepalang basah, dia bermaksud menghabisi mereka. Tapi ternyata kedua lawannya bukan orang sembarangan. Sehingga tidak mudah baginya untuk melumpuhkan secepatnya.
"Bantu mereka! Tangkap gadis itu!" ujar si Jubah Hitam.
"Baik, Tuanku!" Dua anak buahnya yang lain melompat dan ikut mengeroyok si gadis.
"Hm, main keroyok! Kenapa tidak sekalian saja semua turun tangan? Aku masih mampu menghabisi kalian!" dengus gadis itu.
"Tutup mulutmu, Gadis Liar! Kali ini kau tidak akan bisa lolos lagi!" bentak salah seorang.
"Huh! Buktikan mulut besarmu!"
"Yeaaa...!"
Empat orang bertopeng segera bergerak dari empat arah. Diserangnya gadis itu dengan menggunakan jurus-jurus ilmu pedang,
"Hiih!"
Trang!
Sakaweni mencelat ke atas. Dua lawannya mengikuti, mengancam dua kakinya. Dengan cepat gadis ini jungkir balik sambil mgrigibaskan pedangnya.
Sret!
"Ohhh!" Salah satu orang bertopeng terkesiap ketika selubungnya terlucuti pedang gadis itu. Sehingga wajahnya terlihat. Rupanya dia seorang laki-laki tua. Namun gadis itu tidak mengenalinya. Sementara pemuda berbaju putih yang tertawan terkejut melihat wajah orang yang topengnya terlepas.
"Guru! Kau..., kau...?!" seru pemuda itu dengan wajah tak percaya.
Seruan pemuda itu membuat Sakaweni terpana. Hanya sesaat, namun digunakan sebaik-baiknya. Salah seorang dari mereka langsung menotok tengkuk Sakaweni itu dari belakang.
Tuk! Tuk!
"Ahhh...!" Gadis itu ambruk tak berdaya seperti dilolosi tulangnya ketika dua totokan mendarat ditengkuknya. Pedang di tangannya cepat berpindah tangan.
"Bajingan keparat! Lepaskan aku! Aku masih mampu menghadapi kalian semua!" teriak Sakaweni geram.

***

180. Pendekar Rajawali Sakti : Pengkhianatan Di Bukit KeraWhere stories live. Discover now