13. Al-fatihah untukmu

21 5 0
                                    

~Sepaket Alfatihah untuk beliau dalam tangis menyebut nama. Mengharap ridho dan Barakahnya dalam doa~

                                ♤♤♤

Embun di pagi buta.

Azan subuh berkumandang mengajak umat islam salat berjamaah. Para santri bersiap-siap merapikan pakaian beranjak ke masjid. Meluangkan waktu mengaji sambil menunggu Imam.

Robet merapikan peci, mempersiapkan diri menjemput Romo Kiyai. Berbesar hati memperlakukan beliau sebagai rasa terima kasih telah menemukan pasangan hidupnya. Rasa itu hanyut tenggelam menyelami pemandangan yang terjadi saat knop pintu terbuka lebar. Romo Kiyai bersimbah darah. Perlahan ia amati, darah menyebar ke kasur. Berceceran ke lantai. Pisau belati berwarna darah sebagai bukti apalagi yang mencengangkan sebuah kertas masih dipegang dengan berupa tulisan Imaz bercorak darah. Dan itu pula sebagai bukti kedua.

Jikalau rasa terima kasih berupa menjemput beliau, ia ganti menjadi Imam para santri di masjid. Berjalan menatap kosong namun tegang. Mereka memberi ruang jalan. Dikira salat dimulai, mereka berdiri membentuk saf. Namun mengejutkan, Robet berdiri berhadapan pada para jamaah. Tangannya bergetar memegang mikrofon.

Ia memberi salam. Bibir bergetar. Matanya berkaca-kaca. Mereka menjawabnya penuh tanda tanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun..." ucap Robet mengejutkan mereka, "telah berpulang ke rahmatullah....K.H. Abdul Musthofa. Semoga beliau diterima disisi Allah."

Seisi ruangan berteriak histeris.

Menangis tersedu-sedu sampai ada yang jatuh pingsan. Disisi putri juga kaget dan langsung menangis. Terutama kesembilan putrinya berlari ke luar kamar masuk ke kamar beliau yang bersimbah darah.

Hujan air mata mengguyur pesantren Benang Biru.

Romo Kiyai berselimut darah akan disucikan dengan air ketenangan. Beliau diurus relawan santri putra untuk memandikan serta memberi pakaian terakhirnya; kain kafan.

Para nelayat turut berduka cita membawakan sumbangan. Bacaan surah yasin menggema di ruang tamu. Kesembilan putrinya terus terisak.

Khodam setia mendampingi mereka untuk menenangkan hati dan pikiran berupa kelembutan tangan  mengelus bahunya. Tidak pada Ning Fiyyah. Ia telah kehilangan dua orang yang dicintainya. Satunya menghilang karena menjadi buronan penjahat lalu satu-satunya kebahagiaan melengkapi keluarga, seorang ayah tiada untuk selamanya.

Tak sanggup melihat kematian beliau berakhir tragis. Robet yang bukan anak kandung merasa bersalah tidak bisa menjaga beliau. Dalam tekadnya, ia berjanji sebagai gantinya, ia akan menjaga pesantren. Mengurus kasus kematian beliau. Dan memberi hukuman yang berat karena telah membunuh beliau.

Deretan rekaman memori bersama beliau terputar sempurna dikalangan santri. Petuah beliau dengan semua senyuman dan keteduhan hati.

Dulu yang selalu berpakaian rapi ala santri duduk di depan santri-santri, menebar ketenteraman hati, kini berpakaian kain putih polos tanpa ekspresi. Tubuh beliau yang masih kuat menyampaikan ilmu kini kaku terpaku.

Beliau yang mengajarkan mereka bacaan Alquran sampai handal melafadzkan kini terdiam mendengarkan mereka yang membacakan surah yasin. Mereka yang tak berani azan karena minimnya suara kini mereka percaya diri mengazani beliau.

Dan saat ini...

Tahlil berkeliaran menebar duka.

Beliau tidur di peristirahatan terakhir.

Terbujur sangkar dalam liang lahat mengetat. Hati tak akan menghianati jika tak berbuat jahat. Allah pasti memberi ruang seluas samudera tanpa dihimpit bumi. Hanya berhati mulia bumi membukakan jalan.

Air mata membanjiri pelupuk mata mereka. Kenangan, perkataan, senyuman, dan pengorbanan beliau berakhir sampai disini.

Batu nisan berdiri tegak di ujung pusara mengukir sejarah enam puluh lima tahun kehidupan beliau yang berliku-liku. Wafat beliau bertepatan disaat sang istri tiada. Makam mereka bersandingan persis saat dipelaminan.

                                      ***

Finding My LoveWhere stories live. Discover now