MIS | Amarah dan Rasa Bersalah

5.4K 542 59
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!


Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya Diaz dan Nial datang bersamaan. Mereka langsung menghampiri Nuca yang duduk dengan gelisah di ruang tengah. Pria itu hanya menunduk, sama sekali tak sadar dengan keberadaan kedua saudaranya.

"Nuca?" panggil Nial yang sudah berdiri di samping sang kakak.

Nuca menoleh dengan tatapan datarnya. Kedua tangannya mengepal. Dia berusaha menahan emosinya sendiri. Padahal keinginan menghajar mereka sangat besar. Rasa takut yang sejak awal dirasakannya berubah menjadi amarah saat melihat kedua saudaranya yang datang dengan wajah tenang, tampak tidak ada rasa khawatir sama sekali.

"Apa yang terjadi?" tanya Nial, putra ketiga Robinson yang masih bersikap santai. Dia terpaksa mengakhiri kegiatan nongkrong dengan temannya karena panggilan dari Nuca yang menyuruhnya pulang. Sama dengan saudaranya yang lain, Nial lebih sering pulang ke apartemen pribadinya ketimbang mansion besar ini.

"Irey tenggelam," sahut Nuca dengan nada dingin.

"Bagaimana bisa?" tanya Diaz dengan tatapan nyalang. Kedua tangannya ikut mengepal, dia menatap Nuca seakan pria itulah tersangka kejadian ini.

"Sepertinya dia terpeleset saat berada di dekat kolam."

"Memangnya ke mana perginya pelayan dan pengawal? Apa mereka tidak becus berkerja di sini?"

Nuca memandang Nial dengan sinis. Adiknya itu belum sadar posisi sama sekali. "Lebih tepatnya, kita yang tidak becus menjaga Irey. Kenapa dia harus dijaga pelayan, sedangkan Irey punya keluarga?" sentaknya sampai menaikkan nada suara.

Nial terdiam. Dia kehilangan kata-kata. Jika sudah begini, dia tahu bahwa Nuca sangat marah padanya. Nial masih cukup sadar untuk tidak membalas jika tidak mau menjadi objek pelampiasan sang kakak.

"Kita membayar mereka." Diaz menjawab tenang, masih enggan disalahkan. Kedua tangannya yang mengepal tersembunyi di dalam saku celana.

"Really? Kamu masih bisa bersikap santai setelah kejadian ini? Kamu belum sadar juga ini kesalahan siapa?" pekik Nuca dengan tatapan tak percayanya. Tidak ada lagi sikap segan pada pria yang lebih tua dua tahun darinya itu. Saat emosi, keduanya hampir memiliki aura yang sama. "Kalian mau kita kehilangan untuk kedua kalinya? Cukup Mom, jangan sampai Irey juga meninggalkan kita!"

Mereka saling melemparkan tatapan sengit. Keduanya sama-sama merasakan gemuruh di dada masing-masing. Ada rasa takut, khawatir, dan juga bersalah yang sama. Namun rasa gengsi yang membedakan mereka.

Nuca yang memang melihat secara langsung kejadian barusan sangat sulit menyembuhkan gemetar di tangannya. Bayangan kehilangan sang ibu dulu kembali terulang dalam kepalanya, seperti kaset usang yang sengaja berputar untuk menambah luka. Kedua saudaranya tidak tahu betapa takutnya dia saat melihat Irey yang tak sadarkan diri dengan tubuh kedinginan. Entah bagaimana jadinya jika Nuca datang terlambat. Bisa jadi, mereka akan kembali merasakan kehilangan. Memikirkan hal tersebut membuatnya ngeri sendiri.

Innocent Sister (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang