Kediaman keluarga Jeffryan ramai oleh pelayat, puluhan bahkan ratusan karangan bunga berjejer di halaman rumah.
Hasna terus meletakkan kepalanya di keranda yang dipakai untuk mengantarkan Mardika ke peristirahatan nya yang terakhir.
Tya mengelus pundak Hasna lembut. Mereka sama-sama hancur namun harus kuat.
"Kita berangkat ke rumah baru Dika sekarang ya" ujar Jeffry lembut
Jeremy dan Jeffry berada di posisi terdepan dalam mengantarkan Mardika ke peristirahatannya.
"PAPAAAA!" teriak Jibril histeris
"Ssttt... Ikhlas ya nak, biar papa tenang" tegas Hasna
Sang papa mengadzani di bawah sana dan perlahan tanah mulai menutupi tubuh Dika yang telah pergi untuk selamanya.
Jeffryan memberikan sambutan dan ucapan terimakasih kepada orang-orang yang mengantarkan putra sulungnya.
"Untuk Hasna... Terimakasih sudau hadir di keluarga Jeffryan dan membantu Dika, mendukung Dika dan memberikan Dika kebahagiaan. Sampai kapanpun kamu adalah anak di keluarga Jeffryan, bahkan sampai kamu menemukan sosok baru yang mampu mengisi hati kamu nanti—"
"Rasanya seperti mimpi, dulu waktu Dika lahir saya yang mengadzani tapi sekarang saya juga yang mengadzani saat dia dipanggil Tuhan" Jeffryan tertawa getir
Hasna meletakkan nisan yang bertulis nama suaminya di atas makamnya dan Jibril meletakkan bunga.
"Aku udah kangen kamu... Padahal kita masih disatu tempat" ujar Hasna pelan
"Has, balik yuk" ajak Jeremy
Hasna mengangguk dan Jeremy melakukan high five dengan nisan kakaknya.
"Lo hebat, bang. Gue bangga punya lo di hidup gue. Gue cabut ya, assalamualaikum" pamit Jeremy
Tya duduk di samping Hasna yang menatap ke arah jendela. Ia merangkul menantunya itu.
"Maafin mama ya udah bersikap kelewatan di rumah sakit" ujar Tya lembut
"Gapapa ma, aku paham perasaan mama"
Wanita itu menangkup wajah Hasna dan menghapus air matanya.
"Kita sama-sama belajar ikhlas. Mama juga berterimakasih banget kamu dan Jibril hadir di hidup Dika dan bikin dia semangat lagi"
Hasna mengangguk dan memeluk mertuanya.
"Mama... Why i feel so hurt?" Tanya Jibril
"Itu wajar sayang, jangan ditahan. Jibril boleh nangis boleh kangen papa. Itu waiar" jawab Hasna lembut
Anak itu kemudian menangis sekencang-kencangnya sampai tubuhnya kaku. Hasna hanya bisa memeluknya.
"Doain papa terus ya... Papa bangga punya Jibril"
Jeffryan datang dan duduk di tengah-tengah, Nana dan Jeremy juga ikut berkumpul.
"Kursi meja makan kosong satu. Rasanya aneh" Jeremy tertawa miris
"Its papa place and always be papa place forever" sahut Jibril
Mereka semua berusaha bersikap normal untuk mengurangi kesedihan yang mereka rasakan.
Sesudah acara tahlilan, Hasna masuk ke kamarnya bersama Jibril. Ia langsung melepaskan sarung bantal.
"Tunggu bentar ya, nak. Mama beresin dulu bentar"
Ia mengganti sarung bantal dan semuanya agar ia bisa menyimpan kenangan terkahir yang dipakai oleh suaminya.
"Sholat sama mama ya nanti. Kita doa buat papa" ajak Hasna
"Papa kedinginan gak ya, ma? Diluar hujan"
"Gak dong... Papa orang baik, papa pasti ada di tempat terakhir yang baik juga. Papa gak perlu minum obat, gak perlu pakai oksigen. Jadi Jibril gak boleh sedih" jelas Hasna
Setelah sholat ia langsung tidur sambil memeluk Jibril. Denting jam yang menemaninya sampai pagi, Jibril juga tak tidur lelap. Mungkin anaknya juga belum terbiasa tanpa ada papanya di kamar ini.
° ° °
Hari demi hari berganti sudah lewat 40 hari dari kepergian putra sulung keluarga Jeffryan.
"Jibril jadi sekolah di sekolah itu, Has?" Tanya mama
"Iya, deket sama kantor Jeremy jadi kalau aku lagi di rumah sakit dia bisa dijemput Jeremy"
"Wah... Udah pakai seragam sekarang" puji Tya
Jeffryan menggendong Jibril di pundaknya dan Yumna di lengannya.
"Reumatik kumat awas aja" ledek Jeremy
"Dih papa sekarang gym terus. Gak lihat otot papa. Emang kamu, baru nikah berapa bulan otot perut udah melayang" balas Jeffryan
"Anjir di roasting gue"
Semuanya mulai menyibukkan diri akhir-akhir ini. Hasna kembali ke rumah sakit, Tya kembali ke dunia fashion, dan para suami kembali workaholic di kantor. Menyibukkan diri adalah cara ampuh melupakan kesedihan.
"Has, papa kut nganterin Jibril ya. Papa ada yang mau diomongin"
Hasna duduk di pinggir danau bersama Jeffryan, ada seorang lawyer juga disana dan Hasna tidak tahu kenapa mereka disini.
"Ini pak Hotman, ada wasiat Dika yang mau papa sampaikan. Diwakili sama lawyer aja ya"
"Soal pembagian harta... Pendidikan Jibril sampai setinggi mungkin dibiayai oleh JT corp bahkan jika anda melakukan study lagi juga akan dibiayai oleh JT corp. 20 % harta Mardika jatuh atas nama Jibril dan 30% atas nama anda, beserta satu unit rumah yang sedang di bangun dan satu unit mobil Mercedes-Benz"
Hasna menggeleng. "Aku bisa membiayai kebutuhan aku sendiri kok, pa"
Ia sadar jika ia dan keluarga Jeffryan sudah tidak ada ikatan karna Dika yang sudah pergi.
"No, ini wasiat Dika dan kalian tanggung jawab Dika sampai kapanpun. Mohon diterima ya,nak. Papa berdosa kalau wasiat gak dijalankan" ucap Jeffryan
Hasna larut dalam tangisnya. Bahkan setelah Dika pergi, suaminya masih mempersiapkan masa depannya bersama Jibril.
"Pa, mampir makam mas Dika ya. Pengen kesana"
"Iya... Papa juga kangen"
Hati Hasna sangat hancur. Namun ia juga tidak menyalahkan takdir. Sejak ia memilih Dika menjadi jodohnya maka ia sudah siap dengan segala resiko. Termasuk kehilangan yang ia rasakan sekarang.
Next?
Hasna jadi janda kembang nih... Bentar lagi dilamar

KAMU SEDANG MEMBACA
TEARS IN HEAVEN (MARKHYUCK)
FanfictionTentang suster Hasna yang berjuang semaksimal mungkin agar pasiennya, Mardika. Berupaya semaksimal mungkin agar Mardika bisa sembuh dari sakitnya.