"Menunggu Lebaran" oleh Umar Kayam

8 2 0
                                    


Judul Cerpen : Menjelang Lebaran

(Judul Buku : Derabat : Kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS 1999)

Penulis Cerpen : Umar Kayam

Penerbit : KOMPAS

Tahun Terbit : 1999

Cerpen "Menjelang Lebaran" adalah karya Umar Kayam yang termasuk dalam kumpulan cerpen dari penulis-penulis pilihan KOMPAS, diantaranya ialah Budi Darma, Jujur Prananto, Rainy MP Hutabarat, Sirikit Syah, Afrizal Malna, Gus tf Sakai, AS Laksana, Umar Kayam, A.A. Navis, Herlino Soleman, Hamsad Rangkuti, Leila S. Chudori, Prasetyohadi, Y.B. Mangunwijaya, Gerson Poyk, Radhar Panca Dahana, Veven Sp Wardhana, Bre Redana, Cecep Syamsul Hari, Seno Gumira Ajidarma, Ahmad Sahal dan Toeti Heraty. Buku kumpulan cerpen yang berjudul "Derabat : Cerpen Pilihan KOMPAS 1999" ini memang memuat cerpen yang bervariasi pilihan diksi dn genre-nya. Saya sendiri memilih cerpen "Menjelang Lebaran" karena bahasanya cenderung sederhana dibanding cerpen-cerpen lainnya, juga menyisipkan bahasan isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, yang uniknya masih relevan hari ini—terutama saat awal pandemi.

Cerpen ini dimulai saat jam lima sore, dibuka oleh Kamil yang baru saja pulang kerja. Meyambut senangnya berbuka puasa bersama istri, anak-anak, dan satu pembantu keluarga. Namun Sri, istrinya, narator menggambarkan, hanyalah yang dapat membaca lelah yang disembunyikan suaminya. Sri merasa bahwa ada suatu masalah yang membebani Kamil dari tempat kerja, namun semuanya tertutupi oleh kemeriahan buka bersama terakhir, juga sikap Kamil yang terlihat sama seperti buka puasa sebelumnya, meramaikan buka puasa sore itu dengan oleh-oleh kue pancong, martabak manis dan sate ayam. Tenang sebelum badai, begitulah suasana buka puasa bersama keluarga Kamil. Orang yang melihat akan mengira Kamil sedang menikmati acara buka puasa dengan hati lapang, namun sudut pandang narator yang serba tahu tidak menggambarkan perasaan janggal yang dirasakan Sri yang membuat hati pembaca serasa digantung.

Selanjutnya,suasana pecah karena kedatangan rusuh Mas dan Ade di meja makan, anak-anak Sri dan Kamil yang baru menapaki tahun-tahun awal remaja.

""Sampai hari ini puasa Ade masih belum kalah lho, Pak."

"Wah, hebat. Cewek usia sepuluh sudah penuh puasanya."

"Kok sepuluh, to. Ade sudah dua belas tahun, lho, Pak!"

"Oh ya, sori. Lha, Mas tidak pernah kalah juga, 'kan?"

Mas, anaknya yang sulung hanya meringis di sela tusuk satenya yang terakhir.

"Wah, maaf banget, Be. Kalah dua kali. Habis, lapar sesudah main bola disekolah."

"Wu-ek. Gede-gede enggak tahan lapar. Kalah sama Ade. Wu-ek."

"Biarin."

"Wu-ek. Gede-gede..."

"Awas, lu, ya!""

Meski penggalan dialog yang tidak diselingi narasi tersebut bisa membosankan apabila digunakan terus-menerus, untuk adegan ini saya rasa cocok. Dialog miskin narasi ini, dengan adu mulut kecil antara Mas dan Ade, jujur membuat saya agak kaget karena 'keramaian' yang tiba-tiba. Adegan sebelumnya menggambarkan sedikit-sedikit badai yang akan datang melalui perasaan Sri, kemudian perasaan 'menggantung' itu tiba-tiba diputus karena kepolosan—ketidaktahuan Mas dan Ade akan konflik batin orangtuanya, seperti anak-anak pada umumnya. Disini kita juga bisa membaca karakter anak-anak Sri dan Kamil. Ade yang sedikit jahil, Mas yang sebagaimana kebanyakan sulung, sering keki dengan adik sendiri. Sikap mereka yang nyaman menggunakan bahasa yang tidak baku, bahkan diselingi sedikit bahasa Jawa ngoko dan bercanda di depan Kamil juga menunjukkan dinamik keluarga mereka yang ramai dan lengket.

Alur berjalan maju, setelah meja makan dibersihkan dan anak-anak gedebak-gedebuk, begitu yang digambarkan narator, konflik dimulai saat Kamil menjatuhkan bom pada Sri, menyampaikan beban yang dia pikul sejak awal pulang kerja tadi.

" "Bu, saya termasuk yang kena PHK."

"Saya sudah merasa."

"Kok tahu?'

"Tidak tahu juga. Cuma merasa..." "

Jika percakapan sebelumnya menggambarkan watak Mas, Ade, dan Kamil sebagai ayah, sekarang dialog ini menggambarkan hati Sri yang halus dan peka. Dialog-dialog selanjutnya menceritakan kegelisahan Kamil tentang rencana-rencana mereka, seperti mudik ke Jawa dan hal-hal seperti gaji untuk Nah, pembantu keluarga, harus dipertimbangkan baik-baik. Tidak kecil juga kemungkinan bahwa Nah terpaksa 'dipulangkan,' akibat pemasukan ekonomi dari Kamil terputus, sehingga gaji Nah tidak bisa terpenuhi. Sayangnya, kejadian ini digambarkan hanya lewat dialog. Rasanya, perasaan tegang dan bingung Kamil kurang menggigit dan tersampaikan. Berbeda dengan adu mulut Ade dan Mas yang terkesan sahut menyahut, sehingga dialog tanpa narasi cocok karena menurut saya, penulisan dialog seperti itu terkesan 'cepat'. Seperti para tokohnya tidak terlalu memikirkan apa yang mereka katakan, tidak cocok untuk suasana tegang pada dialog ini. Tapi lagi-lagi, kembali pada selera masing-masing pembaca dan gaya penulis. (Bisa jadi saya yang tidak paham gaya penulisan Umar Kayam sebagai salah satu penulis yang telah diberi gelar sastrawan...tapi itu cerita untuk lain kali.)

Sri yang sempat beroptimis dan lebih tenang dari Kamil tentang masalah ini, mulai goyah saat akhirnya harus berbelanja bulanan dan melihat betapa tinggi harga-harga barang melonjak. Tidak hanya itu, banyak kebutuhan yang hilang—sebagaimana banyak bahan makanan yang dikerubung pembeli menjelang Hari Raya. Sri menyadari bahwa tabungan yang ia sisihkan untuk gaji Nah dan mudik ke Jawa tidak cukup, bahkan harus diputar balik fungsinya menjadi tabungan mkan tiap hari. Ditambah cara menjelaskan situasi ini pada Mas dan Adek—diceritakan bahwa Kamil menyampaikan tentang PHK-nya diawal cerita, membicarakan rencana mudik hingga kini Sri harus berbelanja bulanan, tidak jauh-jauh juga kalau mungkin rencana mudik ke Jawa ini sudah lama direncanakan dan ditunggu-tungu anak-anak mereka. Kamil berhati-hati memberikan pngertian pada anak-anak mereka dengan kalimat klasik yang kalau singkatnya, kalau dirangkum seperti ini "Insya Allah, kita akan mudik ke Jawa. Kalau tidak jadi, Allah punya alasan kuat dan baik untuk tidak memperkenankan kita berangkat."

Masih ada satu masalah yang muncul kembali. Walau 'kepulangan' Nah sudah diperkirakan, tentu saja Sri dan Kamil tidak tega untuk benar-benar mengatakannya pada Nah. Apalagi Nah diceritakan telah bersama mereka selama sepuluh tahun. Mereka berkumpul bertiga, dengan suasana hening, Kamil duduk, Nah dan Sri berdiri. Kamil menyampaikan maksudnya memanggil Nah, dan tentu saja, Nah menangis tersedu-sedu. Diingatnya orang-orang terkasih di desanya, yang dilanda kesusahan. Dari sini, kita tahu bahwa Nah adalah orang yang baik dan berbakti. Ditambah saat Kamil mengusulkan untuk mengikutsetakan Nah dalam keluarga mereka namun Nah tidak digaji, sampai Kamil mendapat pekerjaan lagi. Sebetulnya saya punya pertanyaan tak terjawab tentang bagian ini. Kenapa Nah mau-mau saja tinggal bersama keluarga Kamil tanpa digaji, padahal dikatakan Nah memiliki anak dan embok yang harus dikirimi pesangon? Dan tentang Mas dan Ade, tentu mereka tidak jadi mendapat liburan mereka ke Jawa. Cerita ini diakhiri secara menggantung, dimana Sri dan Kamil berbaring bersampingan dilatarbelakangi anak-anak mereka yang sibuk berbenah untuk mudik, tanpa tahu bahwa besok tidak ada kata mudik.

Jadi Intinya?

Cerpen ini merupakan cerpen yang sederhana dengan lini masa yang tidak terlalu panjang. Alurnya searah, yaitu alur maju, dengan konflik utama yang bercabang menjadi konflik lain, namun tidak bertumpuk-tumpuk. Sudut pandang orang ketiga serba tahu membuat pembaca semakin mudah memahaminya karena memaparkan kejadian-kejadian kecil, juga perasaan semua karakter secara eksplisit dan objektif. Latar waktu dan tempatnya tidak neko-neko—selama Ramadhan dan sebagian besar di rumah tokoh utama. Meski begitu, saya kagum dengan pembangunan atmosfirnya. Diawal semua terasa seperti kaca yang sebentar lagi pecah, kekalutan yang tersamarkan ramai. Meski begitu, tidak digambarkan secara stereotip, "semuanya adalah kebohongan" atau narasi semacamnya. Ada ketulusan dan kekeluargaan yang kental. Tokoh-tokohnya memiliki watak yang cukup solid walau tidak mengalami development secara ekstrim atau eksplisit, dan saya rasa untuk cerpen ini itu wajar. Cerpen ini bercerita tentang keadaan yang bisa menimpa siapa saja, diwaktu yang tak terduga, dimana para pemain belum siap. Menurut saya, tidak semua cerita harus memiliki kurva konflik yang meliuk-liuk. Kadang sederhana namun berlapis-lapis, disampaikan dengan bahasa sehari-hari seperti cerpen ini. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 02, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

review : "to the bone" (tentang kisah-kisah yang merasuk)Where stories live. Discover now