MEI-JUNE

27 8 0
                                    

"Mei, lo apain rambut bisa jadi kaya gitu?"

Tangan yang sudah disiapkan di dekat telinga, sekarang berganti tempat di depan katupan bibir. Dia menghirup udara dalam-dalam sedalam stok kesabarannya untuk buaya keselek cicak, siapa lagi kalau bukan kakaknya.

Sambil menghirup udara, tentu dia juga mengeluarkannya. Kan, tidak lucu kalau ada berita tentang orang mati karena lupa cara bernapas.

Satu ... dua ... tiga ....

Sebentar lagi, dalam hitungan kelima, dia memastikan gendang telinganya mungkin akan  mendadak pecah karena mendengar suara melengking si vokalis di dekat telinga. Saking bagusnya, suara itu mirip dengan suara tutup panci yang jatuh ke lantai.

"MEIII ...."

Sebut saja dia Mei, nama yang terlalu keren untuk dirinya. Mei memejamkan mata menikmati rasa panas yang menjalar akibat jeweran maut di telinganya itu.

"Mei, Mei, kamu ini sebenarnya kenapa?!"

Diam, cukup diam dan sabar. Orang sabar bokongnya lebar. Eh, salah! Orang sabar makamnya lebar! Tunggu, tapi 'kan Mei belum mau mati sekarang.

"Ditanya malah diem!"

"Kan kata Ibu, jangan berani ngejawab omongan orang tua. Makanya Mei diem, takut dosa."

"DIAM!"

Jadi harus jawab atau diam? Tanpa harus bertanya pun, untuk jawaban saat ini Mei tahu jawaban yang tepat. Andai ulangan, mungkin sesekali dia bisa mendapat nilai sempurna. Balik lagi ke kata, andai ....

Saat ibunya sedang marah, alih-alih Mei memasang telinga untuk mendengarkan ceramah, dia malah melihat reaksi kakaknya yang akhlakless itu. Dan bagian drama yang paling memuakkan adalah ketika melihat salah satu tokoh penjahat merasa puas sambil memamerkan senyum lucnut, contohnya saja kakak Mei sekarang.

Sepertinya Mei menyesal telah menyebut kata "kakak" di atas, kalau perlu ganti saja dengan kata biadab. Tidak pantas sama sekali untuk seorang lelaki yang membiarkan adiknya dimarahi, bukannya membela. Tidak pantas menjadi kakak memang!

Tapi, juga tidak ada yang harus dibela dari sesosok Mei yang aneh. Karena ... sumber kesalahan dan keributan ya dari dia sendiri. Jadi, apa perlu Mei sepenuhnya menyalahkan sang kakak? Oh, tentu tidak.

Cukup diam dan nanti sang vokalis akan pergi sendirinya setelah konser.

Dimarahi? Diam. Dipuji? Terbang. Begitulah penggambaran sesosok Mei. Tapi, sayangnya agak kurang tepat karena Mei bukan 'sosok dan tidak bisa terbang'.

Setelah kepergian ibunya, Mei mengepalkan tangan sambil menatap tajam sang biadab. Suara bedebam pintu seiring Mei masuk ke kamar membuat lelaki itu kaget dan mengelus dadanya.

*****

Di dalam kamar minimalis inilah Mei merasa nyaman, meski hanya sedikit perabot yang mengisi, tempelan foto-foto di dindinglah  yang membuatnya betah di kamar. Mulai dari gambar atlet pesepak bola dan atlet pencak silat favoritnya, juga band.

Semua foto itu ... keinginan Mei yang sangat ingin ia capai. Tapi bagi sebagian orang, ini agak aneh untuk seorang perempuan. Mungkin dari sini, kalian semua akan tahu gambaran Mei jika Mei adalah seorang cewek yang tomboy.

Dan jika kalian ingin tahu penyebab pertengkaran tadi itu karena Mei nekat memotong pendek rambutnya menjadi potongan khas rambut lelaki. Dan tentu saja orang tuanya mengekang keras.

Mei berdiri di dekat jendela dengan tangan yang bertumpu di bawah dagu sambil merasakan semilir angin malam ditemani indahnya rembulan malam ini.

Andai ada orang yang mendukungnya, ia pasti akan berjuang mati-matian---tapi, tidak sampai mati betulan karena Mei harus bekerja keras untuk membuktikannya dulu.

Tanpa Mei tahu, ada juga seseorang yang mengalami nasib serupa dengannya. Bahkan orang itu pun sama seperti Mei, sedang menikmati indahnya malam. Tapi sedikit berbeda jika Mei terdiam, orang itu menangis terisak-isak jika dimarahi.

"Junet ... Ibu nggak bermaksud ngebentak kamu, cuman menasihati."

Orang itu lelaki, Junet namanya. Memiliki nasib serupa tapi tak sama. Jika orang tua Mei diam setelah memarahi kemudian pergi, sangat kontras dengan orang tua Junet yang akan  membujuknya.

Bukannya berhenti menangis, Junet malah memperkeras suara tangisannya hingga membuat sang ibu panik. Terus terisak membuat kamar Junet tiba-tiba berubah dipenuhi tisu yang beterbaran di lantai. Saat melihat gender Junet, semua orang mungkin akan mengucapkan satu kalimat secara kompak dan bersamaan, LEBAY! ALAY! JABLAY! GELAY! Serba -ayy.

Junet, bukan campuran rasa antara keju dan kornet melainkan seorang laki-laki yang berkepribadian seperti perempuan. Bagi Junet sendiri dia bukan banci yang ada di lampu merah sambil berjoget ria, tapi dia hanya bersifat seperti kekanak-kanakan saja, bukan banci. Perlu digaris bawahi.

Sifat childish itu mungkin tertanam sejak dini, saat Junet terus dimanja orang tunya dan semua keinginannya terturuti. Semua apa yang Junet lakukan selalu didukung, sampai membuat Junet menjadi sosok yang sekarang ini.

Okey, kembali ke laptop.

Suara tangisan Junet tak kunjung berhenti membuat suaranya serak, dan lama-lama suara itu sangat mengganggu tetangga sebelah.

"WOY, BERISIK!"

"Bodo amat ah, lagi galau juga," suara itu bernada mendayu.

"Berisik, Lekong!"

Beginilah keadaannya jika Mei dan Junet bersebelahan rumah. Sudah pasti tahu apa yang akan terjadi, 'kan? Ya, akan selalu ada pertengkaran seperti Tom & Jeri tapi sekarang berubah menjadi Tomboy vs Banci.

Dreamlights_

Dunia TerbalikOnde histórias criam vida. Descubra agora