Bab 1 : Penting Mengaji atau Bola?

26 5 4
                                    

'Aamiin ....' Kedua telapak tangan anak lelaki itu menengadah ke atas seraya mengaminkan doa yang dipanjatkan bapaknya.

Selepas salat Magrib, Putra, anak lelaki berusia sepuluh tahun ini mendengarkan doa dan nasihat dari bapaknya. Biasanya, sebelum Magrib, Putra sudah berangkat menuju musala untuk mengaji. Namun, sore itu hujan turun sangat lebat. Sehingga Pak Ahmad meminta anak bungsunya itu untuk salat di rumah bersama kakak dan ibunya.

"Jadilah anak yang bisa membanggakan orang tua. Bapak dan ibu hanya ingin kalian berhasil, patuh pada orang tua, saling menyayangi, dan salat jangan ditinggal! Insya Allah rezeki kalian mengikuti." Lelaki berusia empat puluh tiga tahun itu memberikan wejangan kepada kedua anaknya.

"Ibu dan Bapak akan dukung cita-cita kalian selama kami mampu, tapi kalian harus bersungguh-sungguh dengan impian itu," ucap Pak Ahmad diikuti anggukan kedua anaknya. Lelaki itu menyudahi nasihat untuk anak-anaknya sembari menyodorkan punggung tangannya ke hadapan mereka untuk cium tangan, begitu juga dengan tangan Bu Sinta.

"Bereskan sajadah dan sarung, kita bersiap makan. Kak, bantu ibu siapkan makan ya!" pinta Bu Sinta kepada Ifah diikuti anggukan saudara tertua Putra itu. Mereka menikmati makan malam seadanya. Maklumlah, sejak Putra lahir, Pak Ahmad diberhentikan dari pekerjaannya. Mereka mengandalkan dari tabungan dan ibunya yang membantu berjualan donat. Pak Ahmad bekerja serabutan, usianya yang tak lagi muda membuat pabrik atau perkantoran susah menerimanya sebagai pegawai. Baru sekitar satu tahun Pak Ahmad mendaftarkan sebagai pengemudi ojek online. Alhamdulillah perekonomian sedikit lebih baik.

Selesai makan, Ifah membantu Bu Sinta mencuci piring bekas makan. Sementara Putra melipat tikar tempat duduk keluarganya. Pak Ahmad membantu istrinya merapikan nasi dan lauk untuk disimpan di lemari makan. Tidak berapa lama Ifah dan Putra mohon izin ke kamar untuk mempersiapkan pelajaran esok hari.

Putra dan kakaknya ke kamar untuk belajar dan menyiapkan buku pelajaran besok. Ifah merupakan kakak perempuan satu-satunya yang dimiliki Putra. Usia mereka terpaut cukup jauh yaitu delapan tahun. Tak heran jika keduanya suka membuat Pak Ahmad dan Bu Sinta geram dengan keributan yang mereka timbulkan. Namun begitu Ifah sangat menyayangi adik semata wayangnya itu.

Putra masuk ke dalam kamarnya yang berukuran 2x3 meter itu. Terlihat dinding kamar hampir penuh dengan coretan. Gambar bola dan lapangannya mendominasi hiasan pada dinding bercat putih itu. Di belakang pintu kamarnya terdapat selembar poster pemain tim Sepak Bola Indonesia. Putra sangat menggemari tim Sepak Bola Indonesia tersebut.

"Sebelah sini gambar Rico, sebelah sini nanti gambar Simic," ucap anak laki-laki penyuka warna merah itu. 'Pasti senang kalau jadi pemain bola terkenal seperti mereka. Bisa punya uang banyak,' pikir anak lelaki berkulit sawo matang itu sambil menatap poster pemain sepak bola tersebut.

Kamar Putra tidak seperti kebanyakan kamar anak lelaki lainnya. Selain penuh dengan coretan lapangan dan bola, Putra juga suka menuliskan nama-nama pemain sepak bola, baik nasional maupun internasional di dinding kamarnya. Entah siapa yang mengajarkan, tapi sejak usia delapan tahun terlihat sekali kegemaran adik lelaki Ifah ini.

Di salah satu sudut kamar Putra terdapat dua bola yang biasa dia mainkan. Bola itu hanya boleh dimainkan di kamar, karena bola itu dibeli dari uang jajan yang dikumpulkannya selama enam bulan. Kali ini setelah selesai merapikan buku pelajaran untuk dimasukkan ke dalam tas, Putra mengambil salah satu bola berwarna biru. Dia memantulkan bola tersebut ke dinding kamar. Dia mengulanginya berkali-kali hingga membuat Ifah terganggu karena pantulan suara bola di dinding.

"Kamu bisa berhenti nggak? Kakak masih belajar nih!" teriak Iffah di samping kamarnya. Namun Putra tidak berhenti karena menurutnya kegiatan yang dilakukannya itu tidak mengganggu kakaknya.

"Kamu denger nggak sih, berhenti!" ucap Ifah yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamarnya. Putra kaget dan menghentikan kegiatannya itu dengan mulut sedikit manyun.

Ifah memang tidak suka jika Putra melempar bola ke dinding saat dia belajar. Ifah merasa terganggu saat Putra bermain bola di kamar. Ifah sangat senang belajar karena dia ingin supaya cita-citanya tercapai. 'Kalau diganggu terus bagaimana bisa aku fokus belajar,' pikir Ifah demikian.

Sejak kecil, Putra memang gemar lari. Pak Ahmad selalu mengajak anak lelakinya itu untuk berlari pada sore hari. Dia juga gemar sekali bermain bola. Tendangannya yang masih asal pun tetap jadi keunikan tersendiri untuk bapaknya. Maklumlah, Pak Ahmad sedari kecil ingin menjadi pemain sepak bola profesional namun sang kakek melarangnya. Alasannya karena sepak bola biayanya mahal dan sang kakek tidak menyanggupinya.

Ketika Putra lahir, bapaknya berjanji akan menjadikan anak lelakinya ini gemar olahraga. Bapaknya mulai mengenalkan anak bungsunya itu pada olahraga lari terlebih dulu saat masih balita. Di luar dugaan, anak lelaki satu-satunya itu gemar main bola sejak usia 5 tahun. Itu terlihat saat Putra sering kali minta berhenti saat ada pertandingan sepak bola di lapangan yang tidak jauh dari rumahnya. Putra juga minta dibelikan bola, meskipun hanya bola plastik tapi dia sangat senang.

***

"Pak, nanti malam ada pertandingan Persija lawan Persebaya di Liga 1 ya?" tanya anak lelaki berkulit sawo matang kepada Pak Ahmad yang sedang merapikan peralatan bengkelnya.

"Wah, Bapak nggak tau. Kamu tau dari mana?" tanya Pak Ahmad kepada anak bermata agak besar itu.

"Aku tau dari teman-teman di lapangan tadi," jawab anak lelaki yang memiliki rambut tipis seperti rambut jagung. "Kalau memang ada, boleh ya Putra nggak ngaji sore ini, kan mau nonton bola." Anak lelaki dengan tinggi 135 cm itu merajuk kepada bapaknya.

"Mengaji itu lebih penting, masa' lebih pilih nonton bola dibandingkan mengaji," ucap lelaki itu dengan bijak diikuti senyum simpul di wajah anak bungsunya itu.

"Kalo gitu, nanti Putra tunggu cerita dari Bapak saja ya siapa yang buat gol?" tanya anak lelaki yang berbadan cukup tegap diikuti anggukan bapaknya.

***

Ketika di musala, Putra tampak gelisah. Ustaz Dani yang melihat gelagat Putra langsung menghampirinya.

"Ada apa? Tidak seperti biasanya kamu gelisah begini?" tanya guru mengaji Putra yang sudah dua tahun mengajarkannya.

"Ga kenapa-kenapa, Ustaz." Anak lelaki bertubuh tegap itu melanjutkan bacaannya saat mengetahui Ustaz Dani memperhatikannya.

"Sepertinya sebagian temanmu tidak mengaji, kemana mereka ya?" tanya Ustaz Dani kepada Putra.

Putra hanya terdiam, dia tahu teman-temannya itu tidak mengaji lantaran ingin menonton pertandingan sepak bola di televisi. Apalagi tim yang bermain merupakan tim kesukaan dia dan teman-temannya.

"Baiklah kalau Putra tidak tahu, semoga besok mereka datang mengaji lagi ya," ucap Ustaz Dani diikuti anggukan Putra.

***

"Pak, berapa skor bola tadi!" teriak Putra dari balik pintu.

Bukannya menjawab pertanyaan Putra, bapaknya malah menegur anak bungsunya itu. "Assalamu'alaikum ...," ucap Pak Ahmad seraya menyindir Putra ketika sampai di rumah langsung bertanya pertandingan bukan mengucap salam.

"Eh, maaf. Putra penasaran soalnya, Pak," ucap Putra sambil mencium tangan bapaknya dan mengulangi ucap salam.

Lelaki berkacamata itu meminta anak bungsunya menyimpan sarung dan sajadah terlebih dulu sebelum mengajaknya duduk untuk menceritakan pertandingan sore tadi. "Duduk sini, Bapak ceritakan supaya kamu nggak berisik!"

Lelaki berkumis itu kemudian menceritakan pertandingan sepak bola yang tadi ditontonnya. Seru sekali bapaknya bercerita tentang pertandingan itu. Pak Ahmad menyebutkan pemain berambut cepak dan berkulit putih yang mencetak gol ke gawang lawan. Putra teriak dengan senang karena itulah pemain kesukaannya.

"Iih, ngapain sih teriak-teriak begitu, berisik tau!" bentak Ifah yang melihat Putra berjingkrak kegirangan.

Keduanya ribut hingga tanpa sengaja salah satu dari mereka menjatuhkan cangkir kopi bapak di meja ruang tamu. Bu Sinta yang mendengar kejadian itu segera menghampiri keduanya.

Gapailah Mimpimu!Where stories live. Discover now