1. Awal

38 12 1
                                    

Tangan berpegang pada teralis, kaki melangkah menaiki anak tangga. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Dia terus naik hingga sampai di tengah-tengah tangga, membuatnya mampu melihat lebih baik pemandangan sekolah dari posisinya sekarang.

Semilir angin bertiup, membelai poni dan sedikit anak rambut yang tak terikat. Perlahan, seulas senyum terkembang. Bukan karena dia merasa beruntung hari mulai sore dan matahari tak lagi menyengat, melainkan karena waktu pertemuan dengan Rian---pacar yang beberapa hari ini tidak menghubungi---sebentar lagi tiba.

Sekolah sudah mulai sepi. Namun, semua itu sama sekali tidak mengganggunya. Dia justru senang karena tidak perlu merasa malu atau salah tingkah di hadapan orang selain Rian.

Pelan, senandung lirih mengalun dari mulutnya, melengkapi sepasang lesung pipi yang terbit dari senyum seorang Nesa.

"Nes."

Suara itu datang dari arah bawah. Suara Rian yang sejak tadi Nesa tunggu.

Pemuda bernama Rian itu melangkah tenang ke arah Nesa. Dari jauh, perawakannya yang tinggi tidak begitu kentara karena badannya yang cukup berisi. Namun, begitu sampai di hadapan Nesa, perbedaan tinggi keduanya tampak jelas.

Berpegang pada teralis, Rian yang terpisah satu anak tangga di bawah Nesa mengalihkan pandangan, menghadap ke lapangan sekolah yang ada di sisi tangga.

"Nes, ayo putus." Tanpa basa-basi, Rian mengutarakan maksud tanpa menatap gadis itu.

Nesa terdiam. Dia bingung. Seingatnya, selama mereka bersama, dia tak pernah bertengkar dengan Rian. Dia selalu berusaha menjadi pacar yang pengertian dan tidak membatasi Rian dalam pergaulan. Lalu, apa yang salah?

Sabar, Nes, sabar. Tarik napas, embuskan.

Nesa menghela napas panjang beberapa kali, berusaha menetralkan detak jantung dan kecemasan yang dia rasakan.

"Apa alasannya?" Dengan ketenangan yang susah payah dia kumpulkan, iris hitam Nesa menatap lurus mata Rian.

"Yah, kamu terlalu kaku. Gitu aja sih."

"Kaku?"

Rian mengangguk.

"Kamu ngga pernah ngungkapin apa mau kamu. Kamu juga ngga pernah ngelarang ini itu. Aku bebas main sama siapa aja, dan kamu ngga pernah cemburu. Semua itu bikin hubungan kita terasa hambar dan bikin aku ragu kalau kamu bener-bener sayang sama aku."

Nesa menghela napas lega. Kalau itu masalahnya, putus bukan satu-satunya jalan. Dia masih bisa memperbaiki diri agar bisa memenuhi ekspektasi Rian. Namun, sebelum Nesa membuka mulut untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan, iris hitamnya menangkap sosok gadis cantik yang melambaikan tangan ke arah Rian dan menghampiri mereka.

Gadis itu memiliki tubuh proporsional yang tidak terlalu tinggi. Rambut lurusnya panjang terurai, wajahnya cantik, dan sikapnya lemah gemulai. Hanya dengan melihat, Nesa sudah tahu siapa gadis itu.

Dia adalah Luna, salah satu murid yang terkenal dari ekskul tari karena sering mengikuti perlombaan.

"Yang, belum selesai?" Dengan santai, Luna memegang lengan Rian. "Ayo cepetan, aku laper."

Tersenyum tipis, tangan Rian menepuk pelan kepala gadis itu.

"Iya ini sebentar lagi selesai, kok."

Rian mengalihkan perhatian kepada Nesa. "Itu alasan pertama. Alasan keduanya, aku pikir kamu tau sendiri."

"..."

"Udah, yuk." Menggandeng tangan Luna, Rian pergi begitu saja dari hadapan Nesa, meninggalkan si gadis dengan hati hancur berkeping-keping.

Seandainya Nesa tahu semua ini akan terjadi, dia pasti tidak akan menerima pernyataan cinta Rian. Namun, semuanya sudah terjadi dan dia tidak bisa mengubah masa lalu. Nesa hanya bisa melakukan sesuatu untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

Di masa depan, Nesa bertekad untuk tidak jatuh cinta dengan begitu mudah. Dengan begitu, dia juga tidak akan patah hati dengan begitu mudah.

Biarlah Rian meninggalkan luka di hatinya. Hanya Rian. Tidak perlu lagi yang lain.

***
PseuCom

BeliaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora