8. Tawanan

16 8 0
                                    

Priiittt ....

Suara peluit berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya sesi latihan rutin sore ini.

Napas terengah-engah, keringat serta hawa panas yang terasa di sekujur tubuh, dan irama jantung yang melompat cepat. Semua itu sudah biasa bagi Agla. Mengelap keringat dengan lengan kausnya, pemuda itu melangkah ke pinggir lapangan. Di sana, dia mendapati Rian yang tengah bersama Luna.

Bicara tentang Rian, dia sekadar teman sekelas bagi Agla. Walau satu ekskul, tetap saja hubungannya dengan Rian tidak bisa dikatakan dekat. Bagaimanapun, Agla tidak merasakan adanya kecocokan antara dirinya dengan Rian seperti yang dia rasakan dengan Dewa. Jadi, meski saling menyapa dan sesekali mengobrol tentang futsal, dia tetap menjaga jarak.

Sejak lama, dia tahu kalau Rian sudah punya pacar. Namun, Agla tak pernah benar-benar memperhatikan. Tak pernah sampai gosip tentang putusnya Rian dengan pacarnya menyebar, dan gadis mantan pacar Rian yang entah bagaimana meninggalkan kesan buruk dalam pikirannya karena insiden di tempat parkir.

Sejak saat itu, Agla merasa semakin sering melihat teman Nesa yang berisik. Mungkin karena gadis itu tinggi. Jadi, dia lebih terlihat menonjol dari gadis lain. Tapi alasannya mungkin bukan hanya itu. Mungkin karena Agla mulai menyadari eksistensi mereka. Jadi, walau tidak satu kelas, dia seolah merasa kalau SMA Timur begitu sempit sehingga bisa mempertemukannya dengan mantan pacar Rian setiap minggu.

Biasa makan di kantin yang sama, Agla sempat merasa terganggu dengan suara berisik dan ketidaksabaran Galuh. Namun, seiring berlalunya waktu, dia mulai merasa aneh saat tidak mendengar teriakan gadis itu dan tidak melihat sosok Nesa di kantin.

Sejak saat itu, saat matanya melihat Galuh yang berisik, tanpa disadari dia akan mencari gadis pendek bernama Nesa karena berdasarkan pengamatannya, di mana ada Galuh, di situ ada Nesa. Sampai suatu ketika, dia tidak melihat Nesa bersama teman satu gengnya dan Dewa menyeretnya ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas kelompok.

Di sana, dia yang bosan malah berkeliling perpustakaan dan melihat Nesa sedang fokus membaca buku. Sangat fokus dan tenang sampai dia yang melihat pun ikut merasa tenang. Sejak saat itu, kapan pun Agla tidak menemukan Nesa bersama teman satu gengnya, dia akan mencoba untuk pergi ke perpustakaan.

***

Menenteng tas, Agla melangkah ke dalam rumah. Namun, baru saja dia masuk, kakak sepupunya yang bernama Hendra malah sudah mau pergi.

"Lah, Bang, udah mau pulang? Ngga nungguin nyokap pulang dulu biar makan malam di sini sekalian? Udah lumayan lama lu ngga mampir. Nyokap kangen."

Menghampiri adik sepupunya yang baru saja membuka lemari es dan menenggak air mineral dingin, Hendra menunggu dengan sabar di kursi meja makan.

"Gue ada kencan malam ini. Elu sih, dari tadi gue tungguin malah baru pulang. Gue ke sini ya karena nyokap elu yang minta biar elu mau ikutan bimbel di tempat gue. Dia khawatir ngeliat elu mainan futsal melulu padahal udah mau kelas tiga."

"Lu serius, Bang?"

"Ya iyalah. Ngga ada untungnya gue ngibul."

Terdiam, otak Agla berpikir keras. Selama ini, futsal adalah dunianya. Baginya, hanya itu kenangan yang paling kuat bersama mendiang sang ayah. Memikirkan hidup tanpa futsal, dia pasti tak akan sanggup.

Melihat sepupunya terdiam dengan dahi berkerut, Hendra menepuk bahu Agla. "Udah, jangan terlalu dipikirin. Elu omongin aja dulu sama nyokap lu. Omongin baik-baik. Gue pergi dulu."

Sementara Hendra berlalu, mata Agla terus mengikuti gerak-gerik lelaki itu. Dulu, Hendra pernah bercerita bahwa menjadi tutor dan berkecimpung di bidang pendidikan bukan cita-citanya.

Dia lulusan sastra Inggris yang bermimpi menjadi penerjemah, tetapi tidak pernah mempertimbangkan guru sebagai salah satu pilihan dalam hidupnya. Sayangnya, realitas berkata lain. Menjadi penerjemah tidak semudah yang Hendra kira.

Gagal menjadi penerjemah, dia dipaksa oleh teman untuk mengikuti kegiatan sosial yang diselenggarakan suatu komunitas. Di sana, Hendra sempat menjadi tenaga pengajar sementara. Siapa sangka dia justru menemukan kedamaian dan berlanjut hingga sekarang?

Agla tahu Hendra pernah mengalami masa sulit saat berusaha menanggalkan cita-cita. Dan semua itu membuatnya kagum.

Selama ini, selain sang ibu, Agla hanya peduli pada futsal yang mengikatnya dengan almarhum sang ayah. Urusan sekolah, dia hanya belajar sekadarnya. Kalau hal berharga itu diambil darinya, dia harus apa?

Enggan berpikir lebih rumit, Agla segera naik ke kamar untuk membersihkan diri dan mengganti baju. Masa depan memang penting, tapi saat ini dia tidak ingin berpikir lebih jauh. Kali ini, sekali lagi, tolong biarkan dia hidup tanpa mengkhawatirkan apa yang akan terjadi esok hari.

***

BeliaWhere stories live. Discover now