#31 Rumah Pohon (2)

255 53 1
                                    

 Aku terbangun ketika matahari belum menampakkan cahayanya sedikitpun.
Aku melihat jam dinding di kamarku, pukul empat pagi.
Terdengar suara ramai di luar. Banyak suara tetangga yang sedang bercakap-cakap dan suara truk-truk yang bekerja. Padahal hari ini Hari Sabtu pagi, bahkan langit masih gelap.

 Aku keluar dari kamar, pergi ke ruang tamu. Sudah ada Papa dan Mama yang sedang membuka pintu. Mungkin mereka juga terbangun karena suara ramai.

 "Di luar ada apa?" Aku bertanya.

 "Ga tau nih." Mama menjawab sambil melangkah ke luar.

 Suara truk-truk semakin terdengar ketika aku ke luar. Semua orang saling bertanya-tanya suara truk-truk yang berisik berasal, yang membuat hampir semua orang terbangun. Satu-dua orang protes karena waktu istirahat mereka terganggu. Suasana pagi ini mendadak sangat ramai.

 Aku menghampiri Fenly dan Shandy di seberang, yang baru saja keluar dari rumahnya.

 "Inhi adha apha, Mel?" Shandy bertanya sambil menguap, juga menyisir rambutnya yang berantakan dengan tangan. Matanya setengah terbuka.

 Aku mengangkat bahu. Aku tak pernah melihat keadaan ini sebelumnya. Bahkan siang hari. Semua tetangga tiba-tiba 'berkumpul' di luar karena suara berisik yang mengganggu.
Banyak dari mereka masih menggunakan baju rumahnya, termasuk aku, Fenly, dan Shandy. Aku hanya menggunakan kaos biru lengan pendek dan celana panjang.

 Suara truk-truk yang bekerja terdengar semakin berisik dari kejauhan. Beberapa tetangga yang baru saja masuk rumahnya kembali keluar. Beberapa tetangga lagi mulai tak peduli. Satu-dua orang yang sempat protes, kembali protes.

 Aku mencari sumber suara, menarik tangan Fenly dan Shandy lalu berjalan mencoba mendekati asal suara itu.
Semakin aku berjalan mendekat ke arah rumah pohon, suara truk-truk yang bekerja semakin terdengar.

 Tidak lama kemudian aku benar-benar sampai di depan rumah pohon.

 "Tolong berhenti!!" Fajri yang sudah di sana sejak tadi, berteriak kepada orang-orang yang bekerja. Kaos lengan pendek Fajri terlihat kotor.
"Tolong berhenti!! Harus berapa kali saya bilang? Berhenti!"

 Lima teman sekolah kami juga ada di sana, berusaha menghentikan para pekerja. Namun, para pekerja tidak ada yang memedulikan mereka.

 Aku, Fenly, dan Shandy saling tatap. Sebenarnya ada apa ini?
Aku melihat para pekerja yang bolak-balik begitu sibuk. Namun, karena gelap, tidak terlihat jelas apa yang mereka lakukan.
Kami bertiga menghampiri Fajri.

 "Ada apa Ji?" Fenly bertanya sedikit berhati-hati.

 Fajri menghembuskan napas. Dia menunjuk rumah pohon kami. "Itu.. mau.. di.." Matanya berkaca-kaca, tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

 Jika Fajri tak sanggup melanjutkan kalimatnya, ada yang sangat tidak beres di sini. Dan kenapa dia menunjuk rumah pohon kami? Jadi daripada kami hanya bertanya-tanya tanpa jawaban, aku memutuskan bertanya kepada salah satu pekerja yang sedang duduk di pinggir rumah pohon.
"Permisi pak, ini ada apa ya?" Aku bertanya dengan sopan.

 Pekerja itu mendongak, menatap ke arahku, "Beberapa hari lalu kami diminta meluaskan bangunan sekolah sampai ujung sana." Pekerja dengan baju seragam kotor menunjuk ujung taman rumah pohon.
"Hari ini kami mau liat dulu seberapa luas, sekalian motong rumput. Sambil menunggu persetujuan kepala desa."

 Astaga! Pantas saja Fajri berteriak berhenti, juga tak sanggup bicara. Secara tidak langsung, pekerja itu mengatakan bahwa rumah pohon kami akan digusur. Dan baru kusadari, rumput taman sudah tidak setinggi mata kaki.

 "Untuk apa Pak? Saya yang bersekolah di sana merasa ga perlu bangunannya diperluas." Aku kembali bertanya dengan nada yang sedikit tinggi, namun berusaha tidak panik.

BLUE || UN1TYWhere stories live. Discover now