Janji yang Diragukan

28 3 6
                                    

Lina “beruang” atau “beruang”. Jelas wanita itu tidak ingin opsi pertama. Masa yang pernah dia lalui saat mengandung Dewa, anaknya yang sekarang berusia 1,5 tahun. Berat badannya saat itu mencapai 86 kilogram, sangat tidak proporsional dengan tinggi badannya yang hanya 1,5 meter. Demi Tuhan, dia tidak menyangka hormon kehamilan bisa mengubah dirinya begitu drastis. Untung saja dia bisa mengembalikan berat badannya seperti semula selama masa menyusui. Jelas tidak langsung, dia tidak punya waktu berolahraga saat popok Dewa sudah terisi penuh sari-sari kehidupannya.

Marilah memikirkan opsi kedua ketika memiliki tiga digit angka depan untuk uang bulanan yang masuk rekening demi berbelanja; pakaian modis, make up terbaru, atau perhiasan mahal. Sayangnya, opsi tersebut hanyalah imajinasi Lina saat memasak telur dadar yang sekarang ... gosong!

Lina segera mematikan kompor, meletakkan telur berwarna arang itu di piring. Sangat mengenaskan. Baru dia akan membuat telur baru, dari arah kamarnya terdengar suara tangisan yang amat kencang. Lina berlari, memeriksa keadaan Dewa yang sekarang berdiri di atas pipisnya sendiri. Niatnya, Lina akan memandikan bocah lelaki itu setelah menggoreng telur. Sudah tidak ada pakaian yang melekat di tubuh Dewa, maksudnya agar Lina bisa bergerak cepat setelah memasak. Lagi-lagi, semua hanyalah harapan.

Wanita itu mengembuskan napas, memijat kepala yang mulai berdenyut. Dia bersumpah sangat ingin menyumbat telinga sekarang karena sisi kanannya mendengar tangis dan kiri adalah dengkuran Farrel. Ya, suaminya yang masih memeluk guling dengan selimut yang entah kapan sudah berpindah lokasi di lantai.

Lina mendekat ke ranjang, menarik guling yang Farrel peluk. Lantas, lelaki itu tersentak dan membuka mata.

“Duh, kenapa, sih? Aku baru tidur sebentar. Jangan bangunin sekarang!” kata Farrel sambil mengacak rambutnya.

“Kamu enggak dengar Dewa nangis? Dia ngompol. Tolong, kamu mandiin dia. Biar aku yang bersihin lantainya,” balas Lina.

Farrel mendesah panjang. “Yang biasa mandiin dia, kan, kamu. Apalagi, nangis begini. Bersihin lantainya habis mandiin Dewa aja.”

Tanpa membalas ucapan Farrel, Lina menggendong Dewa dan beranjak ke kamar mandi.

Seperti itulah kehidupan pagi Lina, selalu berulang dengan adegan yang sama; beradu mulut dengan Farrel dengan topik harian seputar mengurus anak. Semua akan berakhir dengan kata-kata, “Kan, kamu yang biasa ....”

Ah, sudahlah! Semakin mengingatnya hanya membuat Lina ingin membenturkan kepala ke dinding. Kini, fokusnya hanya untuk menenangkan Dewa.

Seusai mandi, Lina menaruh Dewa di boksnya yang berada tepat di seberang ranjang Lina dengan sang suami. Untunglah, Dewa anak yang sangat paham dengan kondisi ibunya. Bocah berlesung pipi itu selalu mudah ditenangkan. Terbukti, sekarang berteman buku mewarnai, dia sudah larut dengan dunia sendiri, membuat estetika lain di luar gambar yang seharusnya diwarnai.

Perhatian Lina kemudian berfokus pada ranjangnya yang sudah kosong. Dia pun keluar, mengecek keberadaan sang suami. Ternyata, lelaki itu tengah duduk di meja makan. Dia baru saja meletakkan botol susu yang seketika membuat mata Lina terbelalak. Lina berlari dan menghampiri suaminya, mengambil segera botol tersebut.

“Rel, susunya sudah kedaluwarsa! Ngapain kamu minum?”

Kini, berganti Farrel yang melongo. “Astaga! Kenapa kamu baru ngomong? Sudah tahu enggak bagus lagi, harusnya langsung kamu buang. Kamu, kan, tahu aku selalu minum susu habis bangun.”

Lina kembali menaruh botol tersebut di meja—dengan tenaga yang cukup kuat—hingga membuat Farrel tersentak.

“Kita sudah sepakat kalau kamu yang bakal ngecek sendiri keperluanmu. Kenapa semua jadi aku, sih?” kata Lina.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebelum Mentari Terbit dari BaratWhere stories live. Discover now