35. Pahitnya Kenyataan

323 70 4
                                    

Malam itu, angkasa biru gelap seakan mendampingi semua limpah bahagia yang tak akan pernah berhenti dicurahkan. Park Jisung tak pernah tahu apa yang sekarang tengah terjadi pada dirinya sendiri. Langit malam itu, langit gelap yang nampak kosong tanpa para bintang. Langit gelap yang seakan kehilangan pancar sinar mempesonanya akibat sang rembulan yang ditelan oleh tuan awan di atas sana. Seolah melarangnya memamerkan sinar menawannya lebih banyak lagi untuk rakyat Jung-gu. Tapi entah kenapa, Jisung merasa malam ini indah. Tak peduli bintang tak melaksanakan tugasnya untuk mendampingi sang rembulan, Jisung merasa ada 1000 bintang yang kini menyinarinya tanpa lelah.

Park Hyojoo.

Wanita itu lebih mempesona ketimbang sinar rembulan atau pesona bintang kelap-kelip di atas sana. Senyum manisnya yang lebih sering dipertontonkan. Ucapan tulusnya yang mengudara dengan penuh kelembutan. Pendar sorot matanya yang penuh kasih sayang dan dekapan hangat yang berhasil meyakinkan Jisung bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja.

Sebelumnya, Jisung tak pernah duduk berdua bersama sang Mama di atas sofa lusuh ini. Sisi kanan itu, sisi yang biasanya ditempati oleh Jung Jaehyun, kini bergilir tuan. Untuk pertama kalinya, Jisung tak menyangka bahwa sofa bututnya ini punya sebuah sihir nyaman yang selalu menguarkan sirat kebahagiaan.

"Jisung, sofa ini kayaknya harus diganti. Busanya hampir keluar semua." Hyojoo berujar. Punggungnya menjauh dari senderan, mengecek kondisi sofa lusuh itu yang memang benar-benar harus segera dimuseumkan.

Ikut mengambil alih, Jisung menatap benda itu. Kain birunya yang dulu menyelimuti lembut si busa sofa dan kerangkanya, kini sobek di beberapa bagian. Busa-busanya mencuat keluar, seakan tak lagi betah dikurung bertahun-tahun di dalam sana. Mamanya benar, benda ini seharusnya berakhir di dalam gudang.

"Aku juga setuju. Tapi sofa ini punya banyak kenangan." Kepalanya tertunduk, tangannya mengelus senderan sofanya. "Kak Jaehyun dulu selalu duduk di sini buat nemenin aku. Sofa ini juga dulunya nggak pernah nangkep momen kebersamaan ku sama Mama. Tapi sekarang, kita duduk di sini." Senyum tipisnya terulas.

Hyojoo terkekeh kecil. "Kamu sejak kapan pinter ngomong kayak gitu?"

Menderaikan tawanya, Jisung menyebut satu nama. "Kak Jaehyun. Kayaknya aku banyak belajar tentang kedewasaan dari dia sampai cara ngomongku mirip."

Bangga dengan proses pendewasaan sang anak, Hyojoo mengulas senyumnya. "Wah, Mama kayaknya bener-bener punya banyak hutang budi sama Jaehyun. Kalau malam ini kita makan sama-sama gimana? Malatang? Atau samgyeopsal? Dia udah pulang kan?"

Mengalihkan atensinya, Jisung menoleh ke arah pintu. Sejauh ini, tak ada tanda-tanda kepulangan Jaehyun. Setidaknya, pemuda itu akan mampir sekejap barang mengutarakan cuap-cuap kecilnya. Tapi sampai di detik ini, derap kaki itu belum terdengar. Batang hidung mancungnya juga belum muncul.

"Kayaknya dia belum pulang. Mau coba undang dia ke sini? Aku bakal pergi ke unitnya, siapa tahu dia ternyata baru pulang?" Jisung memberi tawaran.

Ketika satu anggukkan dipertontonkan, anak itu menorehkan senyumnya lebih lebar. Sang Mama menyetujui sarannya. Maka, Jisung bangkit dari sofa butut itu. Meninggalkan Hyojoo barang beberapa menit bersama layar kaca yang masih dibiarkan menyala.

Tahu-tahu, sesuatu menghambat niat si Park. Unit apartemen itu dilanda sebuah dentang bel beberapa kali. Menoleh ke arah sang Mama, keduanya saling bertukar pandang. Lantas di detik ketiga, Jisung memutuskan untuk membabat habis semua rasa penasarannya. Dilanjutkan, kaki itu kembali melangkah. Tangan kanannya terangkat mengudara. Menekan beberapa angka yang berhasil menjadi password perlindungan istana mereka. Dalam sekejap, bunyi bip kecil pun menyusul. Kemudian ceklik pintu ikut menari di udara. Bersamaan dengan itu, daun pintu terbuka, menampilkan sosok lain di balik pintu.

ATTENTION ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang