Paman

461 41 20
                                    

Perth memandangi dua sejoli yang sedang di mabuk cinta itu.

Dua laki-laki tampan, yang sedang bercumbu mesra di bangku VIP di pojok ruangan tersebut. Dia sudah sering melihat mereka bersama. Namun baru kali ini terbersit pikiran. 'Gimana ya rasanya ciuman dengan laki-laki? Apakah akan sama?' batinnya.

Laki-laki yang terlihat lebih dominan mengecup singkat pipi laki-laki yang bersamanya itu, lalu berjalan keluar meninggalkan bar dengan mobil mewahnya.

Tidak ingin kesempatan hilang. Perth yang kebetulan sedang sepi pelanggan karena hari sudah sangat larut malam pun mendekati laki-laki yang sedikit berumur itu.

Sebelumya, ia mendekati bartender dan memesan minuman biasanya. Ia memesan dua, yang satu akan ia berikan kepada laki-laki yang sedang merokok di pojokan itu. Sebagai basa-basi.

Ia mendekati laki-laki itu dengan sambil membawa dua minuman di tangannya.

"Boleh aku duduk di sini?"

Laki-laki itu menatap sekilas ke arah Perth, lalu menganggukkan kepalanya.

Ia meletakkan rokoknya pada asbak yang tersedia.

"Mau minum bersama?" Perth menyodorkan gelas berisi mocktail ke arah laki-laki dengan kemeja yang terbuka dua kancing atasnya itu.

Laki-laki itu membiarkan tulang selangkanya terekspos. Lehernya yang jenjang juga terlihat cantik dengan beberapa kissmark yang kontras dengan kulitnya yang putih.

Ia menatap gelas yang disodorkan anak muda itu padanya.

"Ah, ini Mocktail," terang Perth pada laki-laki yang menatap minumannya tanpa menyentuhnya.

Laki-laki itu mengangguk dan mengambil gelas yang disodorkan Perth padanya.

Laki-laki itu mengajak Perth bersulang, lalu meminumnya.

"Ada apa?" tanya laki-laki itu to the poin, sambil meletakkan minumannya pada meja di depannya.

Perth bergerak gelisah, sebelum akhirnya ikut meletakkan gelasnya pada meja di depannya.

"Paman, Apa dia kekasihmu?"

Laki-laki yang di panggil paman itu menaikkan satu alisnya.

"Ah. Maksudku laki-laki yang barusan pergi meninggalkanmu."

Ia tersenyum. "Kenapa?"

"Aku hanya penasaran."

"Tentang?"

Perth memainkan jarinya. Laki-laki yang lebih tua memperhatikan gelagat laki-laki yang lebih muda yang terlihat gugup itu.

"Emm... Cinta sesama jenis?" tanyanya dengan lirih.

Laki-laki yang lebih tua menggelengkan kepalanya, dan kembali menyesap minumannya.

"Kenapa kau penasaran, Anak Muda?"

Perth mengangguk antusias.

"Sejujurnya Paman, aku sering melihatmu bercumbu dengannya."

Laki-laki itu tersedak minumannya dengan tidak etis.

"Yakk... Paman kenapa?"

"Aduh." Perth mengusap kepalanya yang baru saja dipukul pelan oleh laki-laki yang dipanggil paman itu.

"Kau mengagetkanku."

Perth mencebik kesal.

"Ayolah Paman, katakan padaku. Aku ingin tahu."

Laki-laki itu mengusap rambut Perth. "Sekolah saja yang pintar, Anak Muda. Kalau sudah besar cari uang yang banyak."

Perth merengut.

"Usia sepertimu, belum waktunya untuk bermain seperti itu," lanjut laki-laki itu.

"Bermain seperti apa? Seks?"

Laki-laki itu menatap Perth tidak percaya.

"Oh ayolah. Siapa yang mengajarimu kata-kata seperti itu, di usiamu yang masih belia ini."

"Ah Paman. Kau tahu? Aku bahkan sudah kehilangan keperjakaanku di usiaku yang ke 16 tahun, untuk mendapatkan uang," ucap Perth dengan gamblangnya yang mendapatkan wajah terkejut dari yang lebih tua.

"Sial. Kau? Call Boy?" tanya yang lebih tua dengan wajah kagetnya.

Perth mendecih. "Jangan samakan aku dengan laki-laki murahan itu. Setidaknya pekerjaanku lebih bermartabat dan lebih menghasilkan banyak uang."

Paman itu mengernyitkan dahinya bingung, menghasilkan perempatan imajiner pada dahi mulusnya yang terpapar cahaya remang dari bar.

"Lalu?"

"Call me Sugar Baby." Terangnya dengan bangga, yang membuat laki-laki itu menganga tidak percaya.

"Bodoh. Kenapa kau bangga sekali."

"Aw. Paman. Bisakah Paman tidak terus menerus menggeplak kepalaku?"

Laki-laki yang dipanggil paman itu mendecih, mengabaikan lolongan dari Perth.

Hening. Tidak ada yang berbicara. Laki-laki yang lebih tua terlihat sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Perth sibuk mengamati wajah laki-laki di sampingnya itu.

"Paman."

Laki-laki itu menoleh dengan alis terangkat satu, seolah bertanya 'Apa?'

"Berapa usiamu?"

"27" jawab laki-laki itu singkat.

"Astaga Paman. Kita bahkan berjarak 10 tahun."

Laki-laki itu melirik singkat si lebih muda, tanpa ada niat menimpalinya.

"Aish. Paman. Kau sungguh dingin sekali. Tidak menyenangkan berbicara denganmu."

Laki-laki itu meletakkan ponselnya, lalu memandangi Perth. "Lalu kenapa kau masih disini dari tadi, Anak Muda?"

Perth menghembuskan nafas pelan, lalu menyandarkan punggungnya pada sofa empuk itu. "Aku sudah tidak ada pelanggan Paman. Aku gabut."

"Pelanggan? Bukankah harusnya kau mempunyai 'mommy?'"

"Ah. Aku juga seorang host disini." Terang Perth.

"Host?" Laki-laki itu mengerutkan keningnya.

"Iya. Seseorang yang akan dengan siap sedia menemani minum dan mendengarkan curhatan jika dibutuhkan."

Laki-laki itu mendecih. "Apa bedanya dengan call boy."

Perth mendelik mendengar penuturan paman itu. "Jangan sekali sekali samakan aku dengan sebutan murahan itu. Aku hanya menemani mereka minum. Bukan menemani mereka tidur." jawab Perth sengit.

Paman itu terkekeh melihat Perth yang emosi. Ia kembali mengusap rambut Perth. "Iya iya."

Ponsel laki-laki itu menyala. Tanda ada pesan masuk.

Ia melirik sekilas. Lalu kembali menatap Perth. "Aku pulang dulu. Terimakasih minumannya."

Perth mengangguk, laki-laki itu berdiri dan mengusap bahu Perth pelan. Sebelum benar-benar meninggalkan bar dan menghilang dari pandangan Perth.

"Huh. Sepi sekali."

*****

Jumat, 25 Juni 2021
Revisi: Minggu, 29 Januari 2023

Sugar (Baby?) {PertMark}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang