Part 6

1.1K 103 5
                                    

"Apa benar yang kamu bilang barusan, Nurma?"

Aku dan Ibu serempak menoleh kaget ketika mendengar suara tegas Bapak.

"Bapak ...."

Bapak melanglah lebar mendekati kami, lalu berdiri tepat di hadapanku yang menunduk takut.

"Benar semua yang Bapak dengar tadi, Nurma? Benar Aldi sering menyakitimu?"

Aku mengangguk pelan.

"Mana foto bukti-buktinya? Bapak mau lihat."

Kuletakkan ponselku di telapak tangan Bapak yang menengadah. Aku dan Ibu saling melempar pandang melihat Bapak yang begitu serius melihat satu per satu foto di ponsel.

"Benar Aldi melakukan ini? Dia sudah ngaku?"

"Sudah, Pak," jawabku pelan.

Bapak menghela napas berat, lalu mengembalikan ponsel itu padaku.

"Kenapa kamu nggak cerita dari dulu sama Bapak dan Ibu? Kenapa baru sekarang kamu terbuka?"

"Dulu Nurma berharap Mas Aldi akan berubah, Pak. Nur tulus cinta, tapi Mas Aldi nggak. Kepercayaan dan cinta dari Nur nggak bisa mengubah Mas Aldi, kalau Mas Aldi sendiri nggak ada niat ke sana. Dia sengaja mengejar-ngejar mantannya terus, Pak."

"Sekarang, mau kamu apa?" Bapak berjongkok di hadapanku dan berkata lembut.

Aku menunduk, terisak dengan Ibu yang terus mengusap lembut punggungku.

"Nurma mau pisah saja, Pak. Nur nggak kuat," lirihku, menatap penuh harap pada Bapak.

"Apa nggak bisa dibicarakan baik-baik lagi, Nur? Kasihan bayi kamu pas lahir kalau nggak ada papanya." Ibu masih berusaha membujukku agar mengubah keputusan.

"Bercerai bukan berarti musuhan, Bu. Aku nggak akan halangin Mas Aldi menemui anak kami. Itu juga kalau memang Mas Aldi mau ketemu."

"Ya sudah pasti mau. Kenapa bicara begitu? Nggak baik," tegur Ibu.

"Kamu sudah yakin?" tanya Bapak memastikan.

Aku mengangguk seraya menyeka air mata.

"Pak, jangan gegabah ambil keputusan. Nurma itu sedang emosi dan sakit hati. Kita sebagai orangtuanya jangan gampang setuju gitu aja. Kasihan juga dengan bayinya kalau mereka bercerai."

"Bu, Bapak bukannya mendukung perceraian ini. Bapak juga nggak mau mereka pisah. Tapi coba Ibu pikir, Nurma bahagia nggak kalau kita paksa bertahan? Gimana kalau dia tertekan dan malah depresi? Apalagi dalam keadaan hamil besar begini," debat Bapak seraya menggenggam satu tanganku. "Ibu, kan, perempuan juga. Perempuan yang melahirkan putri kita satu-satunya ini. Jadi, Bapak yakin Ibu lebih mengerti perasaan Nurma dibanding Bapak."

"Iya, sih, Pak. Ibu ngerti. Tapi ...."

"Apa Ibu nggak sayang dengan Nurma? Bukan cuma kesehatan fisik, tapi kesehatan mental Nurma juga penting. Bapak nggak mau anak kita tertekan terus sampai depresi. Ibu mau, berita ngeri di TV kejadian sama anak kita?"

"Ya nggaklah, Pak! Kok, Bapak ngomongnya gitu, sih?" Ibu tak terima.

Bapak menghela napas berat, lalu berpindah duduk di sebelah kiriku.

"Nur, Bapak memang nggak suka dengan perceraian. Semua orangtua juga pasti berharap rumah tangga anaknya baik-baik saja dan langgeng. Tapi kalau pernikahan itu nggak buat kamu bahagia dan malah buat kamu menderita, Bapak ikhlas. Bapak akan dukung kamu karena Bapak sayang kamu. Kamu anak Bapak satu-satunya," terang Bapak seraya mengusap kepalaku dengan lembut.

STATUS GALAU SUAMIKU Di FACEBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang