7. Disusulin

5.4K 1.1K 26
                                    




Aku melirik jam yang melingkari tanganku, sepuluh menit lagi menuju panggilan boarding, aku sudah duduk manis di ruang tunggu bandara. Hari ini aku akan ke Jakarta untuk masalah pekerjaan, penerbangan pagi karena pukul sepuluh nanti aku harus bertemu dengan Pak Wiria dan Mbak Ester, sutradara dan juga penulis skenario dari novelku yang akan diadaptasi menjadi film.

Beberapa novelku memang telah mendapatkan rumah masing-masing untuk dijadikan series dan film, tetapi ini adalah novel pertamaku yang akan memasuki masa produksi. Rasanya campur aduk, bahagia tentu, tetapi ada juga rasa was-was, karena buku dan film jelas dua hal yang berbeda. Pak Wiria telah menjelaskan padaku akan ada banyak adaptasi pada filmnya nanti, tetapi tidak akan menghilangkan jalan cerita yang telah aku buat.

Banyak pembaca yang merasa kecewa ketika sebuah novel diadaptasi menjadi film, karena ternyata banyak sekali perbedaannya, tetapi namanya adaptasi tentu banyak hal yang akan disesuaikan, ini lah hal yang selalu aku katakan pada pembacaku, sebenarnya ketika menonton film yang diangkat dari novel yang harus dilakukan pertama kali adalah menanggalkan ekspektasi dan menikmati apa yang disajikan.

Sebenarnya aku sudah membaca draft awal skenario untuk film ini, suprisingly aku menyukai perubahan yang ada. Tidak terlalu banyak hal yang diubah, semua pas pada porsinya, apalagi novelku ini sudah terbit sekitar tiga tahun yang lalu, tentu ada hal-hal yang harus disesuaikan dan menyisipkan isu-isu yang sedang booming adalah hal yang tepat, karena penonton akan merasa relatable dengan film yang disajikan.

Sejak awal tim ini memperkenalkan diri padaku, aku yakin kalau filmnya akan digarap dengan serius. Karena Pak Wiria sendiri adalah sutradara yang sudah banyak menghasilkan film-film berkualitas, beliau bahkan pernah meraih Piala Citra. Aku bersyukur sekali karena dipertemukan dengan tim ini, karena jujur tidak semua rumah produksi menggarap film dengan baik, ada yang hanya memikirkan keuntungan dan malah menyajikan filmnya layaknya sinetron kejar tayang.

*****

Pukul tiga aku sudah kembali ke hotel, setelah menghabiskan waktu beberapa jam membahas masalah film. Lagi-lagi aku bersyukur karena tim ini benar-benar membantuku. Dalam artian aku yang belum ada pengalaman ini dijelaskan secara detail mengenai prosesnya nanti. Aku jadi teringat cerita salah satu temanku yang juga penulis, karyanya di filmkan lebih dulu, tetapi dalam prosesnya ia sama sekali tidak dilibatkan. Sedangkan aku, Pak Wiria sangat mendengarkan masukanku, begitu pula anggota tim yang lain, bahkan Pak Wiria benar-benar menanyakan detail tokoh yang aku buat agar tidak jauh melenceng dari apa yang ada pada novel.

Seperti masalah usia tokoh misalnya, mereka benar-benar hati-hati memilih karena pada ceritaku usia tokohnya mendekati tiga puluhan, tidak mungkin kan memilih pemain yang masih muda sekali, walaupun sedang tenar saat ini. Jujur saja banyak yang melakukan ini, karena biasanya yang sudah tenar tentu punya penggemar sendiri yang akan membuat film itu banyak ditonton.

Mbak Devi : Nya, jangan lupa besok ke kantor. Aku punya kerjaan buat kamu.

Aku memutar mata membaca pesan yang dikirimkan editorku itu. Lalu mengetikkan pesan balasan untuknya.

Kanya : Pasti revisian

Mbak Devi : Iya, dong.

Kanya : Aku mau jalan-jalan dulu, please. Mau ke Sea World

Mbak Devi : Kan bisa besok lusa. Kamu kan baliknya Jumat.

Oh ya, aku jadi teringat kalau besok malam Hilman juga akan ke Jakarta untuk pelatihan di Mabes Polri. Jujur aku juga baru tahu hal ini sehari sebelum keberangkatanku. Saat itu aku mengabarinya kalau aku akan ke Jakarta, dan ia mengatakan kalau hari Rabu dia juga akan berangkat. Aku langsung mengajaknya untuk ketemuan di sini tentu saja, Hilman bilang akan diusahakan karena jadwalnya lumayan padat, dan aku pun harus pulang hari Jumat ini. Niat hati ingin reschedule jadwal pulang, tetapi hari Sabtu ini Erina lamaran, tidak mungkin aku tidak hadir karena sudah telanjur bilang pada ibuku kalau aku bisa pulang hari Jumat. Sebenarnya lebih aman kalau aku menghabiskan waktu di sini daripada harus menghadiri acara lamarannya, karena aku yakin sekali semua mata akan tertuju padaku. Apalagi aku tidak membawa pasangan, makin panjang lagi urusannya.

Aku membuka ruang obrolan dengan Hilman, mengabarinya kalau aku sudah sampai di hotel. Tidak ada perintah untuk wajib lapor sih, aku hanya membiasakan diri saja. Tujuannya tentu saja agar dia melakukan hal yang sama, walaupun selama ini ia hanya mengabariku saat pergi keluar kota.

Aku berguling-guling di kasur, rasanya gerah ingin segera membersihkan diri, tetapi rasa pegal-pegal di badan membuatku ingin menghabiskan waktu lebih lama di kasur. Saat aku hampir terlelap, aku mendengar ponselku berbunyi. Ternyata panggilan masuk dari Hilman.

"Halo, Bang?" sapaku.

"Lagi apa?" tanyanya.

"Guling-guling di kasur."

"Oh. Nggak keluar malam ini?" tanyanya lagi.

Jujur walaupun sedang berada di kota lain dan jauh dari ibuku, aku bukan tipe yang hobi kelayapan. Apalagi kalau sudah lelah seperti ini, aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar hotel, kalau lapar, kan bisa tinggal pesan saja.

"Nggak kayaknya, capek banget," jawabku.

"Iya, istirahat aja di hotel. Besok kegiatannya apa?"

"Mau ke penerbit, dikasih kerjaan sama Mbak Devi."

Hilman tertawa, mungkin karena nada suaraku yang terdengar lesu. "Kan di sana emang buat kerja."

"Abang besok sampai sini jam berapa?" tanyaku.

"Jam sepuluh atau jam sebelas mungkin. Penerbangan terakhir."

Kalau ditanya aku paling benci penerbangan pertama dan terakhir, sama-sama mengantuk. "Masih kerja dulu siangnya?"

"Iyalah."

"Luar biasa Pak Polisi satu ini," responsku. "Ketemuan dong, Bang. Kan deket tuh Mabes sama hotel Kanya. Kalau nggak kita ketemuan deh, di mal aja," pintaku. Setahuku Hilman menginap di hotel dekat Mabes, dan aku sudah survei mal apa yang dekat dan bisa jadi tempat kami bertemu.

"Di hotel dapet sarapan nggak?" tanyanya.

"Dapetlah."

"Oke nanti sarapan bareng aja."

"Abang mau ke hotel?"

"Iya, numpang makan. Soalnya check in hotel baru Kamis siang."

"Lah, terus malem pas sampe Abang tidur di mana?"

"Di hotel Adek."

"Heh?"

Dia tertawa. "Boleh kan?"

"Abang genit!" seruku.

Tawanya semakin heboh. "Lah kenapa emangnya? Cuma numpang tidur, memangnya Adek mikir apa?" tanyanya.

"Ya... bukan gitu. Cuma kan nggak boleh sekamar. Belum halal Abang!"

"Ya kalau Adek nggak mau, Adek bisa tidur di kamar mandi. Tenang aja, Abang nggak bakal ngapa-ngapain, kok. Cuma numpang tidur doang, boleh ya?"

"Nggak!"

"Pelit banget sih!"

Maka sisa percakapan kami sore ini adalah Hilman yang memintaku agar mengizinkannya tidur di sini. Aku tahu itu hanya main-main tapi membayangkan kalau dia benar-benar di sini bersamaku, just two of us? Kira-kira apa yang akan terjadi? Apa dia masih bisa bersikap seperti biksu?

*****

Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang