Orientasi

26 5 0
                                    

1999

Krak!

Hanung Warsa mencelikkan mata begitu telinganya mendengar suara mencurigakan dari luar rumah. Pria bertubuh kekar itu tidak langsung berdiri. Ia masih dengan posisi terbaring di sofa sambil kembali memperhatikan suara langkah kaki di depan pintu.

Perasaan Hanung semakin tidak enak ketika sorot lampu menembus dari jendela ke dinding yang ada di hadapannya. Cahaya itu bergerak-gerak di tengah kegelapan, pemilik senter tersebut tengah mencari sesuatu.

Pelan-pelan Hanung menyingkirkan selimut yang menutupi kakinya. Beruntung sofa yang ia tiduri berlawanan arah dengan jendela rumah sehingga gerakan Hanung tidak terlihat dari luar. Ia sendiri sedang menunggu waktu yang tepat untuk bisa pergi dari ruang tamu tanpa ketahuan. Hanung mengamati setiap suara di depan pintu rumahnya dengan baik-baik. Suara langkah kaki memudar dan sorot lampu menghilang, pertanda pemilik senter tersebut telah pergi.

Hanung menurunkan kedua kakinya ke lantai, lalu bergegas pergi menuju kamar di lantai atas. Hanung membuka pintu kamar dan melihat sang istri masih tertidur lelap bersama putra semata wayangnya, yaitu Dio Warsa.

Hanung mendekatkan bibirnya ke telinga sang istri. "Ladiba, bangun. Ladiba," bisiknya lirih. Ia menggoyang-goyangkan pelan bahu Ladiba. "Ladiba, bangun. Mereka datang."

Ladiba membuka mata. "Apa? Mereka sudah ada di sini?"

Hanung mengangguk. "Mereka sedang berkeliling. Ladiba, kita harus pergi sekarang juga. Kau bawa Dio dan aku bangunkan Ais. Setelah itu kita pergi lewat ruang bawah tanah."

Ladiba pun berdiri dan menggendong Dio yang sudah berusia delapan tahun. Wanita itu membawa anaknya menuju dapur di mana ada pintu rahasia di balik permadani merahnya. Sementara Hanung ke kamar sebelah untuk membangunkan Ais. Tidak payah membangunkan wanita yang berusia dua puluh empat tahun itu, cukup sekali bisikan saja ia langsung membuka mata. Ais paham kenapa ia dibangunkan tengah malam.

Sesuai dengan yang telah direncanakan, semua berkumpul di dapur. Ais pun menyingkirkan permadani yang menutupi pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Hanung memang sudah lama menyiapkan semua ini karena ia tahu bahwa suatu saat akan ada seseorang yang mengincar dirinya dan keluarganya.

Craaang!

Seseorang memecahkan kaca jendela. Mereka datang. Ais membuka pintu dengan cepat dan mereka semua buru-buru masuk ke dalam sebelum seseorang mengetahuinya. Setelah semua berada di dalam ruang bawah tanah, Ais menutup kembali pintu yang secara otomatis menarik permadani sehingga menutup pintu rahasia. Dapur pun tidak akan terlihat mencurigakan.

Dari ruang bawah tanah, Hanung dan yang lain bisa mendengar riuh langkah kaki di atas. Itu bukan satu orang melainkan banyak orang. Hanung menempelkan jari telunjuknya ke bibir. Ia mengatakan sesuatu dengan begitu lirih, "Tetap berjalan, tapi hati-hati."

Sementara di dapur ada beberapa pria berompi anti peluru yang mengenakan topeng hitam serta memeluk senapan tengah berkeliling. Salah satu di antara mereka menyalakan lampu dapur dan ruangan seketika terang benderang.

"Mereka berhasil lolos," ucap salah satu dari mereka.

"Tapi ke mana?" tanya yang lainnya. Mereka sama-sama bingung karena tidak menemukan Hanung dan keluarganya.

Tidak lama setelah perbincangan mereka, seorang pria yang seluruh tubuhnya dilapisi baja datang menghampiri mereka. Baja yang menutupi kepalanya membuka secara otomatis melalui tombol kontrol di telapak tangan kanannya yang diklik sekali, sehingga wajah sosok di balik baja tersebut terlihat. Pria itu berkumis tipis dengan tatapan matanya yang setajam elang.

THE ART MAN. VOL 2 : TELEKINETORWhere stories live. Discover now