🌻7🌻

1.5K 209 13
                                    

***

Ya, mungkin aku tidak tahu diri, Juna. Kamu bebas mengataiku seperti itu.

_7_

"Kejuuttaaann!"

Si kembar Mahesa mendadak sama-sama terdiam. Keduanya kompak membulatkan mata dan menjatuhkan rahang mereka.

"Se-sepeda ini buat siapa, Yah?" Mendadak Juna tergagap seperti yang Ananta biasa lakukan. Berbeda lagi dengan sang adik yang lebih memilih mengangguk menyetujui pertanyaan yang dilayangkan oleh si sulung.

"Sepeda kalian, lah. Sengaja ayah beli sepeda-sepeda ini, biar ayah gak harus antar -jemput kalian lagi."

Keduanya sama-sama terdiam. Juna yang biasanya berisik juga diam. Ada apa dengan si kembar?

"Kalian gak suka ya?"

Spontan keduanya menggeleng, "Suka kok, Yah!" Teriak keduanya bersamaan. Sudah benar-benar terlihat seperti anak kembar.

.
.
.

Jean sudah berada di kelas sejak beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba saja papa membawa sepeda untuknya, alasannya agar ia tidak lagi harus lelah menunggu papa menjemputnya. Padahal ia hafal sekali jika papa tidak ingin repot-repot mengantar-jemputnya. Karena jarak sekolahnya kali ini lebih jauh dari sekolah-sekolahnya yang dulu.

"JEJE!"

Senyumnya mengembang lebar ketika suara teriakkan yang cukup nyaring menyapanya. Itu Ananta, yang tiba-tiba saja berlari menghampirinya dengan wajah sumringah.

Jangan heran jika Ananta terlihat sangat bersemangat, berbeda seperti sebelum-sebelumnya. Jean juga sebenernya bingung, karena semalam Anan tiba-tiba saja memanggilnya Jeje ketika menangis. Ugh, ia seperti memiliki bayi dibanding teman.

Jean jadi tidak bisa tidur semalaman. Perubahan drastis Ananta membuatnya berpikir, jika sebenarnya remaja itu mudah sekali terbawa oleh orang-orang sekitarnya. Selama ini Anan sering sekali murung dan ketakutan, itu artinya-

"Jangan buat ulah lagi! Lo bikin gue malu, tau gak!" Ucapan sinis itu terlontar begitu saja dari mulut Juna yang menyusul di belakang.

"Apaan sih, Jun?! Jangan bentak bayi gue!"

Itu artinya, ia harus ekstra melindungi Ananta dari orang-orang yang membuatnya tertekan.

"Lo itu sahabat gue apa dia, Je?!"

"Lo sahabat gue, Jun. Tapi Anan bayi gue."

Pada akhirnya Juna akan kalah telak darinya. Karena segarang-garangnya Juna, ia masih lebih garang dari sahabatnya yang sipit itu.

Ah jadi lupa!

Jean mengalihkan pandangannya kepada Anan yang sibuk menunduk. Benar-benar lugu dan tidak terduga, Ananta di matanya. Ia sampai sekarang tidak mengerti, mengapa si bungsu Mahesa tersebut masih terlihat sangat menggemaskan! Ah, ia jadi tertular mama.

"Udah gak usah didengerin. Lo tuh gemesin banget! Jadi bayi gue ya!"

Anggap aja ini adalah salah satu cara jean untuk membuat Ananta menjadi ceria. Ya, cara gilanya.

.
.
.

Juna menghela nafasnya untuk yang kesekian kali. Rutinitas barunya setiap jam istirahat, duduk sendirian di rooftop sekolah dan memikirkan apapun yang mengganjal baginya.

Si sulung Mahesa itu sadar betul jika ia sudah sangat keterlaluan terhadap sang adik. Keadaan Ananta ketika ia menemuinya sangat jauh dari yang ia kira.

Adiknya itu selalu bersinar, seperti matahari bagi keluarga Mahesa. Sedangkan ia adalah bulan yang selalu tersenyum mengikuti mataharinya yang selalu bersinar.

Tapi saat itu, mataharinya meredup. Hanya tersisa ketakutan di sana. Dan ia sebagai sang bulan menjadi dingin dan berbalik membenci matahari.

Padahal, bukan benci yang ia rasakan pada Anan. Bukan, tentu saja. Ia hanya kecewa kepada bunda.

Bunda sejak awal memang selalu membedakan keduanya. Bunda selalu mendahulukan Anan dibanding dirinya. Bahkan, hingga kematian bunda, Anan lah yang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan wanita itu untuk yang terakhir kali. Tidak seperti dirinya yang hanya sempat melihat makam bunda setelah bertahun-tahun tidak bertemu.

Tapi selayaknya seorang kakak, rasa kecewa tidak akan pernah membuatnya buta. Hanya saja, rasa gengsinya sangat sulit untuk ditaklukan.

.
.
.

"Je, Anan mau makan di kantin aja."

Jean tersenyum puas karena Ananta menyebut namanya sendiri ketika berbicara padanya. Bayinya, ia jadi semakin gemas.

"Gak, gak, gak. Ini tuh sandwich buatan Paman Mahesa, gak boleh dilewatin! Nih sayurnya, enak banget loh! Gue aja suka!"

Si bungsu Mahesa itu menunduk, jari-jarinya salkng bertautan, persis seperti anak-anak yang takut dimarahi orang tuanya karena tidak boleh membeli jajan sembarangan.

"Iya-iya, ini makan bekal gue. Isinya nasi sama ayam kecap buatan mama."

Ajaibnya, hal tersebut membuat Jean mengalah. Remaja itu memilih untuk menukar kotak bekalnya dengan milik Anan, setelah berhasil mengacak rambut si bungsu dari Mahesa bersaudara itu. Rasa-rasanya, ia jadi ingin mengangkat Anan sebagai anaknya.

"J-Jeje gak papa?"

"Iya gak papa. Gue udah bosen sama ayam kecap."

Bohong sekali. Padahal mama lebih sering membuatkannya telur mata sapi dibanding ayam kecap. Menu tersebut sangat langka tersedia di meja makan keluarga Wijaya.

BRAKK...

Pintu kelas yang awalnya tertutup kini dibuka paksa oleh seseorang. Mata mereka tertuju pada Kevin dan teman-temannya yang memasuki kelas, menghampiri Anan dan Jeje yang sedang asyik menyantap bekalnya. Ada apa lagi dengan Kevin?

"Gue cariin ternyata masih di kelas. Lo kemana aja sih, Nan? Gue udah ngirim banyak pesan dan nyoba buat ngehubungin lo berkali-kali, tapi gak ada jawaban."

Jean menatap garang Kevin dan teman-temannya. "Mau apa lo?!"

"Gue ngomong sama Ananta Gala Mahesa. Bukan sama anak mama yang manja kayak lo."

Brakk...

Selamatkan jantung Ananta! Sungguh ia tidak menyukai atmosfer kelas seperti saat ini.

Jean tiba-tiba saja menggebrak mejanya, sampai kotak bekal di atas meja sedikit bergeser.

"Apapun yang berurusan dengan Anan, itu jadi urusan gue."

"Emangnya lo siapa? Lo bukan abangnya! Harusnya Juna yang ngelindungin dia."

"Peduli setan! Kalo gak bisa jadi abangnya, gud bisa jadi bapaknya! Mau apa lo sekarang?!"

Ya, karena Jean tetaplah Jean yang tak masuk akal. Setidaknya itu cukup membuat Kevin dan teman-temannya kalah telak.

"Ananta, gue dateng dengan cara baik-baik ya. Gue gak nyangka sikap lo malah gini. Asal lo tau aja, gue gak suka sama pengecut kayak lo." Setelah mengatakannya, Kevin melenggang pergi meninggalkan keduanya.

Akhirnya Jean kembali duduk setelah menghela nafas lega. Remaja itu menatap serius Anan yang masih menunduk dengan tubuhnya yang sedikit bergetar. Pandangannya menghangat, senyumnya mengembang.

"Udah, jangan takut. Ada gue yang bisa ngelindungin lo. Lo kan bayi gue."

...

TBC

...

Jean tuh ibarat healer. Gak cuma mampu ngebuat Anan berubah, tapi juga mampu menghidupkan cerita:") Heran deh kalo dari awal sampe akhir dapetnya yang kaku-kaku kayak Juna.
Duh... Renjun/Raka apa kabar ya?:")

ANDROMEDA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang