Mama Matcha || Bab 1

3.1K 130 13
                                    

Happy reading~

Rasanya pengen banget punya anak waktu liat keponakan-keponakan gue yang imutnya ngalahin marmut berjalan mengerayau di balkon. Udah 25 tahun tapi belum juga nikah.. eh itu umur normal gak si? Karena kakak perempuan gue nikah umur 19 tahun jadi gue pikir umur gue ketuaan buat nikah sekarang.. entahlah itu cuman cara pola pikir gue.

"Nih, matcha pesenan lo." Kakak gue Ratih nyodorin gue segelas matcha hangat.

"Uh," gue mengerang karena matcha yang masih mengepulkan asap itu terasa membakar bibir gue.

"Awas panas." Kata Ratih terlambat memberi tahu.

"Telat. Bibir gue udah hangus." Lebay gue.

"Gak akan item tu bibir. Bibir lo tebel gitu." Sembur kak Ratih. Dia membetulkan kerah bajunya yang memang terlihat mencekik. Pengen juga ngingetin kalo kerah bajunya kayak kecekek gitu, tapi males aja. Nunggu udah kecekek beneran aja baru diingetin.

"Meja makan lo udah tertata rapi semua ya. Nyonya tinggal transfer uang aja ok." Ucap gue sambil bersiap pergi dengan tas tangan yang sudah tergantung.

Et gue bukan babu nya si Ratih. Seperti yang sudah gue bilang barusan kalo dia kakak perempuan gue yang nikah muda. Jadi setiap hari itu gue ke apartemen dia masakin buat dia sekeluarga kecilnya makan siang sama buat makan malam. Emang dia gak bisa masak dikarenakan dia umur 19 tahun yang tadinya jadi beban keluarga tiba-tiba jadi Ratu nya mas Pandji. Mas Pandji sih gak keberatan kalo istrinya gak masak. Dan alasan kakak gue males sewa pembatu itu karena kurang percaya sama mereka yang ngurus anaknya yang masih cilik-cilik. Jujur, Kak Ratih itu cuma bawa modal modis dan kecantikan dia doang buat nikah. Dia sih kadang gue jadiin panutan soal fashion.

"Ma- ma ma-ma macha mau temana?" Kata ponakan gue terbata. Dia anak kedua kak Ratih namanya Aura.

Gue yang lagi pakek sepatu langsung nepuk jidat pura-pura lupa "Eh mama matcha lupa pamitan sama Aura." Gue balik lagi ke arah Aura. Gue cium pipi dia gemas karena gembul.

"Besok mama matcha kesini lagi ya, main sama Aura." Ucap gue lembut.

"Um, ati-ati mama macha." Ucap Aura kembali dia megang tangan gue lalu diciumnya.

Gue ngusak-ngusak rambut Aura kemudian berbalik badan ngelirik kak Ratih sebentar. "Gue pergi dulu ya. Semoga batang kangkungnya gak kekerasan karena gas lo mau abis jadi gue tadi ngehemat-hemat masaknya." Ucap gue tanpa rasa bersalah.

"Apa lo bilang. Orang gue pakek kompor listrik kok." Kata dia sambil bersedakap. Gak bisa di ajak bercanda dia mah.

"Candaa." Sembur gue.

Gue keluar apartemen tinggi ini udah dengan kacamata hitam yang bertangkring di hidung gue. Masih dengan gelas matcha yang belum abis tadi di tangan gue. Berkat kakak gue, gue juga sama modisnya kayak dia. Udah nenteng tas Chanel warna putih sepatu high heels yang gak tinggi-tinggi amat.

Coba tebak nama gue siapa?

Macha?

Matcha?

Acha?

Salah semua.

Nama gue sebenernya Marsya Aninda. Ini semua gara-gara kedua ponakan gue yang setiap mereka baru bisa bicara pasti manggil macha. Dibiasain keluarga manggil mama jadi mama matcha. Kata ibu gak papa itung-itung latihan dipanggil ibu. Ibu bilang gue selangkah lebih maju dari pada kakak gue, karena banyak dapat ilmu rumah tangga sejak sma dan tentunya sebelum menikah. Dapat ilmu sih dapat ilmu, tapi siapa sih jodoh gue lama banget gak dateng-dateng.

Balik lagi soal macha. Keoponakan gue memang kedengaran memanggil macha tapi kalo keluarga dan teman dekat gue pasti di kontak tertulis matcha. Itu juga berhubungan dengan gue yang suka teh hijau alias rasa matcha-matcha gitu.

Mama MatchaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang