DARI semua hal yang ada di daftar keinginanku, siapa sangka yang paling kubutuhkan saat ini adalah tidur yang nyenyak? Setelah beberapa hari kemarin tidurku terganggu gara-gara teror dan juga masalah perjodohan, akhirnya semalam aku bisa tidur nyenyak tanpa mimpi sedikit pun. Sisi positifnya, pagi ini aku merasa sangat segar—sekaligus lapar. Suasana hatiku pun membaik dengan cepat. Sisi negatifnya, aku baru bangun jam sepuluh pagi. Sungguh sebuah rekor untukku yang biasanya tak pernah absen sholat subuh.
Masih sambil setengah menguap, aku meregangkan tubuh dengan cara menarik kedua tangan ke atas dan mengerang keras—sebuah kebiasaan yang selalu kulakukan setiap bangun tidur. Biasanya setelah itu aku lanjut memutar tubuh ke kanan dan ke kiri sampai menimbulkan suara gemeretak. Namun baru saja akan melakukan ritual kedua, terdengar suara tawa tertahan yang membuatku langsung waspada. Siapa?
"Busyet, lo itu nggak ada feminim-feminimnya ya, San!"
Suara itu membuatku langsung menoleh ke arah pintu. Aku sedikit melongo saat melihat Satya baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut ikalnya yang basah menggunakan handuk kecil. Kenapa Satya ada di sini? Pandanganku langsung tertuju ke arah gundukan kantong tidur di dekat tempat tidurku dan, ups, seketika wajahku memanas.
Uh, oh. Aku baru ingat sesuatu.
Semalam, secara sepihak Satya akhirnya memutuskan untuk tidur di kamarku. Pertimbangannya karena semalam akan lebih repot untuk pindah ke tempat Satya mengingat malam sudah terlalu larut. Sebetulnya aku sudah mencoba menolak mati-matian dengan mengatakan kalau tak ada tempat untuk dia. Aku hanya punya satu kasur, by the way, itu pun ukuran single. Sekadar informasi, kalau pun kasurku ukuran King Size sekalipun, belum tentu aku mau tidur bareng si tukang menghina ini. Namun, seperti biasa, bukan Satya namanya kalau dia mau mendengarkan argumenku dan setuju tanpa membantah sedikit pun.
"Gue nggak bakal ngapa-ngapain lo," katanya semalam. "Gue cuma nggak tega—ehm, maksud gue, gue nggak pengin terkesan jahat aja kalau ninggalin lo sendirian pas lagi kayak gini. Soal tidur, gampang. Lo masih ada sleeping bag yang dulu suka dipake hiking, kan? Gue bisa tidur pakai itu."
Melihat aku masih ragu, Satya mendengus kesal dan menunjuk pemukul kasti yang memang selalu stand by di sebelah tempat tidur.
"Kalau lo nggak percaya sama gue, lo boleh tidur sambil peluk pemukul kasti itu," katanya kalem. "Kalau perlu, lo boleh iket gue. Tapi gue cuma mau ngasih tau aja kalau gue nggak minat buat ngapa-ngapain lo. Gue nggak se-desperate itu, kali."
Hiih, nyebelin, kan?
Gara-gara ucapannya itu perasaan takutku berganti jadi jengkel setengah mati. Apalagi sebelumnya dia sempat menyindir soal pernikahan, yang sukses membuatku teringat pada rencana perjodohan kemarin dan juga Randu. Iya, almarhum Randu—aku masih belum terbiasa menyematkan titel itu di depan namanya. Alhasil gara-gara emosi dan uring-uringan aku jadi capek sendiri, yang berujung mengantuk dan tidur nyenyak sampai pagi.
Pletak!
"Woy!" Aku kaget karena Satya tiba-tiba menyentilkan jarinya ke dahiku. "Sampeyan iki pagi-pagi udah ngajakin ribut, ya!" omelku, yang tentu saja dibalas dengan tawa terbahak dari si brengsek itu.
"Nah, kan, medoknya keluar lagi!" ledeknya sambil terkekeh jahil. "Udah, jangan berisik. Kalau gue ngajakin ribut, gue nggak bakal beliin lo sarapan," katanya enteng sambil menyodorkan kantung plastik hitam yang sejak tadi bertengger manis di meja kerja. "Lo masih doyan nasi kuning, kan? Tuh, gue beliin."
Ha?
Aku bengong dan menatap bungkusan itu dengan bingung.
Kenapa Satya tahu aku suka nasi kuning?

YOU ARE READING
"Halo, Cantik!" [COMPLETED]
HorrorTelepon hantu? HAH! Aku memutar bola mata. Dari sekian banyak urban legend yang pernah kudengar, telepon hantu adalah salah satu yang paling menggelikan. Bagaimana mungkin hantu bisa pakai telepon, sih? Memangnya mereka punya uang untuk beli pulsa a...