щ I Don't Need Him щ

171 21 5
                                    


"Gue nggak butuh orang yang dengan mudahnya membohongi diri sendiri."

.
.
.
.
.

»»————><————««

Harmoni pagi harusnya mendukung semangat seorang gadis bermarga Ackerman. Bulu matanya yang lentik, berkedip menyesuaikan udara fajar. Bersarang tubuh, dengan buntalan selimut.

Detik demi detik berada diambang batas pengulangan, memuai kesadaran dalam metamorfosis penuh laba. Hiruk pikuk jauh dari pendengaran armada benang. Meneliti manik besar dengan sayatan tipis.

Malas, satu kata yang terngiang-ngiang dalam bait ingatan Mikasa. Abangnya sudah berpuluh-puluh kali membangunkannya dari angan malamnya, namun bagaikan terjebak- Mikasa tenggelam dalam jiwanya.

Diliriknya ponsel pintar apel tergigit miliknya, ribuan notif sudah menyahut untuk mempersiapkan kebohongannya. Satu yang Mikasa cari, adakah nama Eren dalam timbunan notif tersebut?

Ibu jarinya sibuk berdansa di atas layar tipis itu, cukup menyita waktu sebelum akhirnya berhenti pada satu room chat.

Chat room yang tak pernah absen untuk saling berbagi kebodohan di dalamnya. Eren, lelaki yang membuatnya jatuh hati mengirimkannya beberapa kalimat yang membuatnya langsung meloncat dari kasur empuknya.

Dengan langkah sempoyongan, Mikasa keluar dari kamarnya, menyapa singkat satu-satunya penghuni selain dirinya di apartemen itu.

"Banglep, ada paket Gue nggak datang?"tanya Mikasa kepada Abangnya.

Lelaki berstatus sebagai Abang dari Mikasa, melirik malas. Nafas kasarnya berhembus kencang hingga terdengar sampai ke ubun-ubun kepala. Pendek, itu yang bisa di deskripsikan tentangnya menurut Mikasa. Oh yah, namanya Levi Ackerman; Mikasa dari kecil mempunyai kebiasaan memanggilnya dengan sebutan 'Banglep'.

"Tuh di atas meja. Lo katanya mau nabung? Ternyata itu hasilnya? Nggak guna banget,"ujar Levi dengan nada sarkasnya. Sudah biasa, jadi Mikasa hanya bisa acuh dengan perkataan tanpa dasar itu.

Dipeluknya paket yang cukup besar itu, lalu membawanya kembali ke dalam kamarnya. Senyum terus menerus merekah manis di wajahnya, ingin sekali Mikasa pamer pada dunia bahwa pagi ini dia sangat bahagia.

Dengan penuh cinta, Mikasa membuka paket itu perlahan. Paket yang pengirimnya adalah seorang yang Mikasa dambakan. Paket yang berisi kenangan saat bersama dengan orang tersebut.

"Lukisan Lo emang keren Ren."

Tangannya meraba pelan lukisan penuh cinta itu. Wajahnya terpampang manis dengan sentuhan warna yang Eren berikan. Seniman aneh itu, sudah berulangkali mempermainkan perasaan Mikasa.

Cukup puas melihat lukisan tersebut, Mikasa baru sadar ada kertas kecil yang terselip di belakangnya. Tulisan ala dokter yang membuat Mikasa sakit kepala.

Meskipun Eren seorang seniman, ternyata tulisannya tidak bisa dibilang bagus. Bahkan hampir mustahil untuk dibaca. Untungnya Mikasa bercita-cita menjadi Apoteker, sehingga dia harus sabar dengan makhluk aneh yang satu ini.

Hanya ada beberapa kalimat di kertas itu. Kalimat yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang, kalimat yang membuatnya tak rela sehingga keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Seolah kegelisahan yang selama ini dia pendam akhirnya terjawabkan.

Kenapa Eren berkata seperti itu?

Apakah senja lalu ia mengucapkan kebenaran yang menarik senyum kepalsuan?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

»»————><————««

His Painting - EreMika✓Where stories live. Discover now