First Love (1)

15 1 0
                                    

Jika aku bercerita tentang dia, mungkin ratusan lembar tidak akan cukup menggambarkan rasa bahagiaku saat bersamanya.

#Kapanpunitu

----

Kesan pertamaku kepada laki-laki yang sangat jauh dari tipe idamanku adalah lucu. Dia adalah orang pertama di hari itu yang membuatku tertawa saat mendengarnya bercanda di depan kelas. Iya. Dia tidak sedang menghiburku yang kesal karena berangkat telat ataupun perasaan marahku karena presentasi gagal disebabkan anggota yang ditunggu tidak hadir. Hanya kebetulan. Kebetulan yang sangat berkesan. Dia bahkan mungkin masih tidak mengenal namaku walaupun sekolah sudah berjalan setengah tahun lamanya. Aku cukup yakin dengan itu. Toh, tidak ada satupun yang spesial dariku untuknya, aku tidak berharap juga, setidaknya saat itu.

Dia sudah cukup lama bercerita atau lebih tepatnya bercanda dengan temannya
-yang semua orang dapat mendengar- kemudian beranjak dari meja guru yang dengan tidak sopannya dia duduki untuk menghampiri perempuan yang baru saja memanggilnya cukup keras. Bukan hanya aku, tetapi hampir semua orang di kelas, ikut memperhatikan gerak-gerik mereka berdua yang masih terlihat karena berada di depan pintu. Sepertinya sedang bertengkar, wajah penuh senyumnya langsung menatap malas perempuan itu. Terus menerus memberikan tatapan tidak peduli, sifat aslinya kah? Atau memang seringnya dia bercanda itu hanya untuk hiburan dirinya?

Aku mengalihkan perhatianku, tidak ingin peduli, memilih mendengarkan sepenuhnya Dian yang memulai omelannya, tau aku melamun.

"Ya ampun, Na. Lo sedari tadi belum ngerjain satupun?"

Aku hanya bisa membalas senyum kecil, "Ga mudeng gue." Jawabku beralasan. Tidak mungkin aku berkata jujur bahwa aku mulai memperhatikan si pembuat onar kelas yang selama ini aku hindari.

"Masih kesel?"

Aku mengangguk, ada benarnya juga.

Dian memaklumi, "Emang tuh Angga, lo juga. Udah tau dia orangnya malesan, kenapa lo kasih tanggung jawab segede itu ke dia."

Aku mulai membaca deretan huruf yang membentuk kalimat panjang setiap paragrafnya, bergumam menjawab, "Em, dia yang punya flashdisk."

"Tinggal lo pinjem dong."

"Ga mau dianya, katanya ada file penting." Kataku, mencoret huruf C dengan menyilangnya.

Dian berdecak, "Jan jangan file aneh-aneh."

Aku terkekeh, seperti sedang menanggapi cerita orang lain, perasaan kesal tadi, sudah tidak terlalu menggangguku, toh, aku bertanggung jawab juga bahkan semua anggota karena telah setuju Angga yang membawa flashdisk, kesepakatan bersama jadi risiko itu juga ditanggung bersama.

"Lo udah selesai?" Tanyaku.

Dian yang sedari tadi berkutik dengan modul sekarang dengan santai bermain hape, "Iya lah. Males banget ngerjain di rumah."

Aku meringis, Dian terlalu sering menunjukkan gejala anak rajin yang tidak bisa aku pahami sama sekali.

"Aneh banget si Sam." Kata Dian.

Anehnya, aku tertarik mendengarkan, "Kenapa?"

"Dia yang nembak Clara, tapi sekarang kayak biasa banget diputusin."

"Mereka putus?" Tanyaku, mengulang kejadian tadi di pikiranku. Sungguh aneh. Perasaan aku yang melihat kejadian tadi, kenapa Dian yang sedari tadi fokus mengerjakan malah tau kejadian yang sebenarnya? Level yang berbeda. Waw.

"Udah jelas lah. Clara dateng kan tadi? Marah-marah."

Aku melirik orang yang sedang digosipkan, "tapi Sam keliatan ketawa-tawa aja tuh bareng Gio." Kataku menjelaskan pemandangan di depan kelas yang Dian juga bisa melihatnya.

Kisahku UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang