Bab 20

901 203 32
                                    

Ishan rutin menghabiskan waktu di gym. Mengangkat bilah besi sampai 80 kilogram pun dia sanggup. Sungguh lucu kalau membalik tanah menggunakan cangkul, dia tidak sanggup. Bukan apa-apa, posisi mencangkul haruslah membungkuk. Punggungnya mungkin kelewat jompo sehingga terasa keram. 

Baru mengayun cangkul lima kali, Ishan sudah menyerah. Lagipula hari ini jadwal Irene memasak di dapur. Ishan tidak diizinkan masuk ke gedung biara. Khusus perempuan katanya. 

Ishan kembali ke kamar. Romo Basuki tidak ada. Menurut Irene, beliau rutin berkeliling rumah sakit untuk memberikan komuni pada pasien sakit yang tidak mampu bangun. Setelah itu berkeliling ke rumah penduduk untuk memberikan pelayanan khususnya pada lansia dan orang sakit. 

Ishan benar-benar sendirian. Dia sengaja membuka pintu agar udara segar masuk. Di Jakarta, hawa tanpa polusi adalah sesuatu yang langka. Ishan membuka laptoplaptop dan menyalakan modem portabel. Sinyal WiFi biara cukup kuat, hanya saja Ishan tidak mempercayai sambungan internet publik. Bisa saja ada yang berniat jahat mencuri informasi darinya. 

Ishan menghubungi Damian, Maura, dan Fabian untuk meeting berempat. Sambil menunggu mereka semua siap, Ishan duduk menikmati hari. Kicau burung liar terdengar merdu. Di Jakarta, orang harus mengurung burung agar mendapatkan kicaunya. Di sini, tanpa dikurung, tanpa diberi makan, burung-burung itu berkicau dengan bahagia. 

Benarkah dunia seperti ini yang Irene idamkan? Dunia yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Dunia yang tidak memikirkan materi. Bekerja secara sukarela demi Tuhan dan sesama. 

Ishan dibesarkan dalam keluarga yang memandang uang, jabatan, dan status. Tanpa pencapaian terkait itu semua, Ishan merasa tidak berharga. Tanpa pengakuan dan kekaguman manusia dia merasa tidak ada artinya. 

Apa yang Ishan lihat di sini berbeda. Para biarawati tidak satu pun menunduk hormat padanya. Suster Beatrix tahu siapa Ishan. Irene tahu. Ishan yakin para biarawati yang lain juga tahu siapa dirinya. Namun sikap mereka biasa saja. 

Irene merawat para lansia tanpa memandang status sosial. Semua diperlakukan tanpa ketimpangan. 

"Ishan." Wajah Damian muncul di layar laptop. 

Ishan sudah rapi mengenakan kemeja dan dasi. Dia membenarkan posisi duduknya. 

"Selamat pagi, Pak," sapa Ishan. 

Maura dan Fabian ikut memberikan salam. 

"Gimana hasil live in di biara? Apa kamu sudah berhasil membujuk para biarawati itu?" Seperti biasa, Damian langsung menembak tepat sasaran. 

"In progress, Pak. Saya perlu mendekati mereka secara personal. Mengambil hati supaya mau direlokasi."

Damian berdecak tidak sabar. "Terlalu lama itu, Shan. Mau sampai kapan? Project pembangunan hotel harus disegerakan."

Damian bukan orang yang sabar. Sedikit banyak sifatnya menurun pada Ishan. Kalau dalam kondisi biasa, Ishan akan menuruti perkataan sang ayah. Sayangnya, kali ini Damian menggunakan isu sensitif. Agama. Ibarat bola panas, agama bisa berkembang menjadi liar lalu membakar segalanya bila dibiarkan berlarut-larut. 

"Saya pasti akan mendapatkan lahan itu." Ishan terlampau yakin meskipun belum tahu bagaimana caranya. 

"Tiga bulan, Shan. Lebih dari itu saya akan gunakan cara sendiri." Damian mengultimatum. 

Maura dan Fabian hanya diam menyaksikan anak dan ayah ini berdebat menggunakan caranya. 

"Baik, Pak," ucap Ishan. 

"Next Fabian. Kita bahas project cottage di Mawun."

Fabian tampak lega. Pembahasan project cottage di Pulau Lombok itu tidak semenegangkan lahan biara. 

SANGGRALOKAWhere stories live. Discover now